Postingan

Jangan Mati Kawan

Kawan, hidup di pusaran abad ke-21 ini seakan membawa kita pada ruang batin yang penuh dengan pertentangan; Di satu sisi, kita dihadapkan pada kesempatan-kesempatan yang mungkin tak pernah ada sebelumnya; di sisi lain, ada arus deras yang mencoba meruntuhkan nilai-nilai dasar yang kita genggam erat. Batu terjang itu, yang datang tanpa jengah, tidak hanya mengetuk, tetapi seperti hendak merubuhkan fondasi yang telah kita bangun nilai-nilai yang kita sepakati sebagai hal yang tak boleh dikorbankan, termasuk prinsip "tak menghalalkan segala cara, hanya untuk hidup!" Badai modernitas ini menghantam kita dari segala arah. Di setiap waktu, kita dipaksa berhadapan dengan percepatan yang seringkali tidak manusiawi, seolah ada perlombaan untuk siapa yang paling cepat beradaptasi, siapa yang paling cepat menghasilkan, siapa yang paling cepat mencapai “kesuksesan” menurut standar yang semakin kabur. Pada setiap perjumpaan dan pertukaran kabar kabar; kita berulang kali menyaksikan beta

Peradaban dan Brutalitas yang Tersembunyi: Sebuah Paradoks Modernitas

Peradaban, dengan segala gemerlap kemajuan yang menyelubunginya, bersama struktur pemerintahan yang hierarkis dan otoritas yang mapan, pada dasarnya hanyalah sebuah lapisan tipis yang menutupi insting dasar manusia yang sesungguhnya brutal dan penuh hasrat untuk mendominasi. Di balik klaim rasionalitas dan kemajuan, brutalitas manusia tetap hidup, hanya menemukan bentuk yang lebih halus dan tersembunyi. Thomas Hobbes, dalam karyanya  Leviathan  (1651), menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami sebagai sebuah peperangan tanpa henti, B ellum Omnium Contra Omnes , atau “perang semua melawan semua.” Di sisi lain, Sigmund Freud, dalam  Civilization and its Discontents  (1930), memperluas pandangan ini dengan mengungkapkan bahwa konflik batin manusia antara insting destruktif ( Thanatos ) dan dorongan untuk hidup ( Eros ) adalah sumber penderitaan dalam peradaban modern. Pemikiran-pemikiran ini memberikan landasan filosofis bahwa meskipun peradaban telah dibangun, brutalitas tak pern

Juwita & Samudera

Hari itu langit cerah Mega awan bergaun merah Duduk Juwita menghadap samudera Termangu aku pada punggungnya Sendu melagu di khayalku; Betapa aku iri pada samudera biru itu yang dapat menatapmu tanpa kenal henti Betapa aku iri pada desir angin itu yang membelai-belai rambutmu tanpa permisi Betapa aku iri pada pasir-pasir yang beterbangan itu yang dapat berselancar di kelopak, bulu matamu Betapa aku iri pada langit sore itu yang dapat larut dan terbenam di bening bola matamu Betapa aku iri pada sapuan ombak itu yang dapat mengecup jari-jemari kakimu Dan di antara nyanyian camar-camar yang melankolia; Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang langkah kakinya seteduh dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam diamnya seanggun dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam ucapnya sehalus sutera serupa ucapmu Aku bersaksi, bahwa tiada sorot mata yang mampu menundukkan pandangku serupa kedua matamu Padamu Juwita yang abadi sebagai tawanan rima Adakah kau menerka? Ku agungkan engkau d

Belajar Melukis

Gambar
Setiap malam Aku suka belajar melukis Jika melukis cinta dan kasih, kupinjam rahmat Tuhanku Jika melukis doa, kupinjam bibir ibuku Jika melukis tabah, kupinjam bahu adik-adikku Jika melukis berani, kupinjam kepal tangan bapakku Jika melukis peduli, kupinjam ulur jemari kawan-kawanku Jika melukis amarah, kupinjam wajah negara Jika melukis derita, kupinjam raut orang desa yanng ruang hidupnya di ambil paksa Jika melukis resah, kupinjam dada dan kepala orang kota Jika melukis kelaparan, kupinjam perut bayi-bayi di Biafra Jika melukis air mata, kupinjam pipi anak-anak palestina Jika melukis merdeka, kupinjam busur pace, mace di Papua Jika melukis kalah, tak pernah kupinjam itu pada siapa-siapa Semua ada padaku

Di Suatu Kota, Aku Terbakar Sendirian

Gambar
     Kau tahu, belakangan aku merasa muntab pada daur peristiwa yang ada di sekitarku. Rasa-rasanya tak henti rajam ranjau waktu yang di tanam dunia modern membuat huru-hara di dalam dada-kepalaku.  Ingin ku tuangkan segala hal yang melintas depan muka ku, namun gerak tanganku kaku, tak seperti mulutku yang gacor, lagi gemulai. Mataku meneropong segala lanskap peristiwa, sengaja kubuatkan untuknya kolom-kolom yang di kurung merah, kugaris bawahi dengan tebal, dan ku selipkan catatan-catatan kecil di sampingnya, namun tetap tanganku tak mampu membahasakannya dalam wajah susunan kalimat. Kepalaku mulai berdenyut-denyut, pada rumah sewa di salah satu sudut kota tempat ku menempuh pendidikan tinggi, dan di kamar persegi empat kali empat ini kuajak badanku untuk bangkit dari peristirahatannya. Ku amati, benda di sekelilingku mulai pendar dari pandang ku, seperti kulihat lampu-lampu menari-nari, meja-kursi beterbangan dan berputar, ubin lantai menusuk-nusuk telapak kaki ku dengan selimut es

Sekali Lagi!

Gambar
Gelegak takdir serupa irama  Laju asa tak boleh kenal henti Menghadapi hari yang tak kenal damai dan aman Saling memukul dan bertinju lah di gelanggang zaman Ketika ia menghantam rusuk, punggung, dada, juga kepala Sebentar menyerang, sebentar menangkis Segores sikut Sepenuh luka bertahanlah! Merah, biru, hitam, ungu Penuh lebam sekujur tubuh Itu bukan masalah! Nurani jangan pergi Bertinju lah sekali lagi!

Bunga Abadi

Gambar
Semerbak wangi bunga di kebun pertama Bersarang karang pada kelopaknya Gagak-gagak berdansa memekik suara Mata pedang cinta mengoyak dogma Pada pangkal daun terakhir di bulan juli Puisi-puisi ku berombak, menari-nari Melesat, menerjang, menembus langit kota Tegak pandang ku pada kisah Qais dan Laila dan kau dimana juwita? Berangkat waktu datang menjengah Pada ujung pandang ku lukis wajah Ku petik pena dari selimutnya Lalu mencatat ingatan mendalam bersama juwita Kebestarian manusia memecah waham Tapi tidak dengan cinta manusia yang mendalam Tak  di izinkan barang sebentar logikanya menjemput kesadaran Di antara cokelat, bunga, kembang api dan pingitan kebahagiaan Riang seorang diri berdansa ia di dalam  pesta bertajuk kegilaan