Postingan

Merataplah

Apa yang membawa anak manusia pada penyangkalan?   menerka yang wujud dengan menaruh cinta pada yang bentuk. Apa yang membawa anak manusia pada keterombang-ambingan maksud?  menerka yang terang hanya telanjang dalam bentuk inderawi. Apa yang membawa anak manusia pada kelingseman ?  menaruh pandang hanya pada urusan kalah-menang, dan kalau perlu; harus menang! Bukannya pada pandangan yang jujur tentang kebenaran Kegamangan nasib anak manusia membentur altar takdir, meraba bentuk asli "manusia sejati" Apa yang "perlu" hinggap dalam kepintaran manusia agar tak sombong pada kebodohan dalam memahat dirinya menjadi manusia sejati? Maka merataplah ke kedalaman dirimu; sebab tak akan pernah kau jumpai selama hidupmu, wajah aturan dan bentuk spektrum sosial yang melarangan anak manisia untuk menangis, mengeluh bahkan merasa kalah, sekalipun pada dirinya sendiri. Sebab itu pula tak pernah jatuh larang terhadap anak manusia untuk berbicara dan berdialog; dengan angin, ranting...

Mulai-lah

Pancaroba bertiup membisik gamang Mengurai hidup nasib anak manusia  Selalu saja, isi kepala tak lebih besar dari mulutnya Menyalahkan apapun, tanpa pernah mengarahkan telunjuk kedalam dirinya sendiri Busa di mulut, kabut di pandang Menipu nuraninya sendiri Badai hidup, balada jiwa Menyibak ingatan, menyulam kedegilan, Menjahit luka, menjelma tanda peringatan, Katanya, Berhentilah menyalahkan angin, Belajarlah menari dalam badai

Aku Gelisah!

Jika gelapnya lorong-lorong jalan yang Engkau suguhkan adalah bahasa cinta-Mu yang paling sukar kami mengerti, maka dengan ridha-Mu, tuntunlah kami menuju cahaya di ujung lorong-lorong itu. Jika marabahaya dan ancaman-ancaman ketidakpastian hidup adalah tempayan-Mu yang berisi keberanian, tetapi sering kami salah pahami, maka luapkan, tumpahkan, dan bajirilah akal serta hati kami yang gersang akan kesadaran dan pengertian terhadap karunia-Mu. Jika hadirnya derita-derita dalam hidup kami adalah bahasa rindu-Mu yang masih tandus dari pengertian kami, hamba-Mu, maka tarik dan seretlah kami, bahkan ceburkan kami, ke telaga hidayah-Mu. Dan jika kehancuran yang karib dengan harapan-harapan kami adalah tinju-Mu terhadap keangkuhan dan kesombongan atas pengetahuan yang selalu kami bangga-banggakan, maka luluh-lantakkanlah dengan kebesaran nama-Mu, agar lapang hati dan pikiran kami menerima setiap roda takdir-Mu. Ya Tuhan kami, betapa hinanya kami yang tak mampu menyadari kebodohan diri sendiri...

Jangan Mati Kawan

Kawan, hidup di pusaran abad ke-21 ini seakan membawa kita pada ruang batin yang penuh dengan pertentangan; Di satu sisi, kita dihadapkan pada kesempatan-kesempatan yang mungkin tak pernah di bayangkan sebelumnya; di sisi lain, ada arus deras yang mencoba meruntuhkan nilai-nilai dasar yang kita genggam erat. Batu terjang itu, yang datang tanpa jengah, tidak hanya mengetuk, tetapi seperti hendak merubuhkan fondasi yang telah kita bangun nilai-nilai yang kita sepakati sebagai hal yang tak boleh dikorbankan, termasuk prinsip "tak menghalalkan segala cara, hanya untuk hidup!" Badai modernitas ini menghantam kita dari segala arah. Di setiap waktu, kita dipaksa berhadapan dengan percepatan yang seringkali tidak manusiawi, seolah ada perlombaan untuk siapa yang paling cepat beradaptasi, siapa yang paling cepat menghasilkan, siapa yang paling cepat mencapai “kesuksesan” menurut standar yang semakin kabur. Pada setiap perjumpaan dan pertukaran kabar kabar; kita berulang kali menyaks...

Peradaban dan Brutalitas yang Tersembunyi: Sebuah Paradoks Modernitas

Peradaban, dengan segala gemerlap kemajuan yang menyelubunginya, bersama struktur pemerintahan yang hierarkis dan otoritas yang mapan, pada dasarnya hanyalah sebuah lapisan tipis yang menutupi insting dasar manusia yang sesungguhnya brutal dan penuh hasrat untuk mendominasi. Di balik klaim rasionalitas dan kemajuan, brutalitas manusia tetap hidup, hanya menemukan bentuk yang lebih halus dan tersembunyi. Thomas Hobbes, dalam karyanya  Leviathan  (1651), menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami sebagai sebuah peperangan tanpa henti, B ellum Omnium Contra Omnes , atau “perang semua melawan semua.” Di sisi lain, Sigmund Freud, dalam  Civilization and its Discontents  (1930), memperluas pandangan ini dengan mengungkapkan bahwa konflik batin manusia antara insting destruktif ( Thanatos ) dan dorongan untuk hidup ( Eros ) adalah sumber penderitaan dalam peradaban modern. Pemikiran-pemikiran ini memberikan landasan filosofis bahwa meskipun peradaban telah dibangun, ...

Juwita & Samudera

Hari itu langit cerah Mega awan bergaun merah Duduk Juwita menghadap samudera Termangu aku pada punggungnya Sendu melagu di khayalku; Betapa aku iri pada samudera biru itu yang dapat menatapmu tanpa kenal henti Betapa aku iri pada desir angin itu yang membelai-belai rambutmu tanpa permisi Betapa aku iri pada pasir-pasir yang beterbangan itu yang dapat berselancar di kelopak, bulu matamu Betapa aku iri pada langit sore itu yang dapat larut dan terbenam di bening bola matamu Betapa aku iri pada sapuan ombak itu yang dapat mengecup jari-jemari kakimu Dan di antara nyanyian camar-camar yang melankolia; Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang langkah kakinya seteduh dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam diamnya seanggun dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam ucapnya sehalus sutera serupa ucapmu Aku bersaksi, bahwa tiada sorot mata yang mampu menundukkan pandangku serupa kedua matamu Padamu Juwita yang abadi sebagai tawanan rima Adakah kau menerka? Ku agungkan engkau d...

Belajar Melukis

Gambar
Setiap malam Aku suka belajar melukis Jika melukis cinta dan kasih, kupinjam rahmat Tuhanku Jika melukis doa, kupinjam bibir ibuku Jika melukis tabah, kupinjam bahu adik-adikku Jika melukis berani, kupinjam kepal tangan bapakku Jika melukis peduli, kupinjam ulur jemari kawan-kawanku Jika melukis amarah, kupinjam wajah negara Jika melukis derita, kupinjam raut orang desa yanng ruang hidupnya di ambil paksa Jika melukis resah, kupinjam dada dan kepala orang kota Jika melukis kelaparan, kupinjam perut bayi-bayi di Biafra Jika melukis air mata, kupinjam pipi anak-anak palestina Jika melukis merdeka, kupinjam busur pace, mace di Papua Jika melukis kalah, tak pernah kupinjam itu pada siapa-siapa Semua ada padaku