Juwita & Samudera
Hari itu langit cerah
Mega awan bergaun merah
Duduk Juwita menghadap samudera
Termangu aku pada punggungnya
Sendu melagu di khayalku;
Betapa aku iri pada samudera biru itu
yang dapat menatapmu tanpa kenal henti
Betapa aku iri pada desir angin itu
yang membelai-belai rambutmu tanpa permisi
Betapa aku iri pada pasir-pasir yang beterbangan itu
yang dapat berselancar di kelopak, bulu matamu
Betapa aku iri pada langit sore itu
yang dapat larut dan terbenam di bening bola matamu
Betapa aku iri pada sapuan ombak itu
yang dapat mengecup jari-jemari kakimu
Dan di antara nyanyian camar-camar yang melankolia;
Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang langkah kakinya seteduh dirimu
Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam diamnya seanggun dirimu
Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam ucapnya sehalus sutera serupa ucapmu
Aku bersaksi, bahwa tiada sorot mata yang mampu menundukkan pandangku serupa kedua matamu
Padamu Juwita
yang abadi sebagai tawanan rima
Adakah kau menerka?
Ku agungkan engkau dalam larik dan sajakku melampaui puisi penyair agung Rusia
Adakah kau merasa?
Ku cintai engkau serupa keagungan cinta penyair Al-birwa pada tanah kelahirannya
Adakah kau mendengar?
Ku sebut-sebut namamu lebih sering, melebihi dzikir nama Laila pada bibir Qais si gila
Adakah gemuruh di dadamu?
Kala mantra yang ku rapal lima kali sehari menyentuh pangkal jantungmu secepat cahaya
Oh Juwita, ku dambakan engkau begitu dalam. Jangan tanya "Mengapa begitu?"
Sebab tak ada lagi pilihan padaku
Kala kata-kata tak mampu mengungkap segala deritaku oleh karenamu;
Biarkan aku berkata padamu dalam diamku,
biarkan aku menemukan cara mencintaimu tanpa kata-kata.
Komentar