Berkunjung Kerumah Iyung
17 Januari 2024, hari ini aku datang ke tempat ini, ledokombo tepi
barat; tempat tinggal kawanku Iyung, yang dua setengah tahun silam ku kunjungi.
Suren, salah satu Desa di Kabupaten yang ada Jawa Timur, tepatnya Kabupaten
Jember. Desa yang termasuk bagian pedalaman, bagaimana tidak; akses jalan pun
masih susah dilewati, sebagian akses jalan menuju rumah kawanku ini berbaju
aspal, sebagian lagi telanjang-berkerikil, kadang batuan terjal, jika malam
hari penerangan jalan pun juga tidak memadai; tidak ada lampu-lampu jalan yang
cantik seperti di Desa mangli tempatku tinggal dan jalanan kota-kota pada
umumnya, hanya lampu-lampu rumah masyarakat yang pendar-pendar di kejauhan.
Terang bagiku, sejak kedatanganku dua setengah tahun yang lalu, Desa ini tetap
sama; dengan kondisi jalanan yang demikian rusaknya. Bagiku itu adalah urusan
penguasa, baik Desa maupun Daerah dan aku tak perlu mencampuri. Merekalah yang
harusnya bertanggung jawab atas semua itu, atas semua hak yang harusnya di
dapatkan seluruh masyarakat di Kota ini, termasuk akses jalan Desa. Sesekali
ketika berkendara di malam hari aku bertanya kepada kawanku itu;
“Eh kang, Nggak takut apa kalau lewat sini malam-malam begini, apa
juga nggak rawan kejahatan kalau sepi begini?
“Ya, nggak ada kang, udah biasa juga. Soal kejahatan, disini saya
belum pernah mendengar atau mengalami hal-hal seperti itu,” jawab kawanku.
“Iya sih, kejahatan kan nggak mesti soal gelap atau terang, ramai
atau sunyi-tergantung kesempatan juga,” ujarku.
Sambil lalu menikmati perjalanan menuju rumah kawanku itu, kawanku membawaku
melewati pematang sawah; jalan setapak yang cukup dilewati satu motor saja. Di
kanan-kiriku terbentang sawah, sesekali melewati sungai-sungai, barangkali jika
melewati jalanan ini ketika pagi dan sore hari akan lebih terang dan jelas
pemandangan dan suasana pedesaan. Sepanjang perjalanan, kawanku juga
menceritakan bahwa di salah satu tempat yang kami lewati ini ada seorang
laki-laki yang pernah gantung diri dan seketika bulu kudukku berdiri;
“Dulu, di pohon itu (sambil menunjuk ke arah pohon) ada orang yang
pernah bunuh diri dan arwahnya selama tujuh hari pernah bergentayangan, pernah
juga masyarakat yang pernah melewati tempatnya gantung diri tadi tiba-tiba
motornya mogok, padahal motornya tidak ada kendalanya dan setelah melewati
tempat itu sudah menyala lagi mesin motornya”
“Ya, siapa tau troble tiba-tiba mesinnya kan,” jawabku sambil
merinding dan coba menyangkal imajiku soal hal-hal yang tidak kasat mata,
meskipun sudah ada di benakku bagaimana gambaran kejadian itu, hehe.
“Mana mungkin kang, wong itu sering terjadi dan beberapa kali
kejadian yang sama sering terjadi, masyarakat pun juga sering mengeluh hal
semacam itu” lanjut kawanku.
“Emang kenapa kok bunuh diri?”
“Kata orang-orang si kelilit hutang, terus dia nggak kuat dan
mutusin buat bunuh diri,” ujar kawanku.
Aku membayangkan saja dan seketika memunculkan pertanyaan,
bagaimana caranya menyelesaikan masalah dengan masalah? Jelas bunuh diri bukan
alternatif penyelesaian masalah, malah membebani keluarganya dengan
hutang-hutang yang ditinggalkan.
“Sebentar kang, berapa usia orang yang tadi gantung diri itu?”
Lanjut tanyaku.
“Masih muda kang, kisaran umur 30 an,” jawab temanku.
Setelah itu aku kembali berfikir, di usia yang masih muda dan
dengan umur segitu kan harusnya bisa bekerja dan bagaimanapun keadaannya
namanya hutang kan erat kaitannya dengan sikap tanggung jawab. Jika masalahnya
dengan manusia kan juga bisa di selesaikan dengan cara manusia, lagi pula
hutang kan bukan bencana alam yang rasa-rasanya tidak mampu dilawan oleh
manusia.
Aku melanjutkan pertanyaan, “Kan bisa kerja sih kang buat menutupi
hutang-hutangnya?”
“Yaaa, aku nggak tau juga kang kalo soal itu, mungkin sudah
keputusannya; menyelesaikan masalah dengan bunuh diri”.
Tidak terasa, kami tiba dirumah kawanku itu dan percakapan kami
soal orang yang bunuh diri tadi seketika terhenti. Aku berempat bersama Iyung
dan dua kawanku datang ke tempat ini. Setibaku di rumah Iyung, ia
mempersilahkan kami masuk; ubin lantai dan airnya dingin, jelas ini suhu yang
jarang dan setiap hari ada di Mangli, kecuali musim-musim penghujan seperti
bulan-bulan ini.
Setibaku di rumah Iyung, aku merasakan suasananya agak berbeda,
rumah kawanku ini dikelilingi banyak pepohonan, rata-rata yang kulihat adalah
pohon sengon, kawanku bilang; “Rata-rata disini masih banyak daerah-daerah
asri, udaranya juga sejuk dan suasananya sunyi, enak untuk bersemedi”. Ya, kurasa memang signifikan perbedaannya
dengan daerah yang kutinggali selama menempuh studi di kota ini, enam setengah
tahun lamanya; Mangli, desa yang setiap harinya aku lalu-lalangi, tepi
barat-timur, utara-selatan yang ku lalui; terik cuaca, polusi dan padat lalu
lintas juga manusianya. Kembali lagi ke tempat ini, kawanku juga bilang kalau
ditempat ini juga masih banyak tumbuhan-tumbuhan gede menjulang tinggi
di bagian alas sana, maklum rumah kawanku yang satu ini cukup dekat dengan alas
itu, hal yang berbeda pula dengan pemandangan Desa Mangli, yang tiap kali aku membelalakkan
mata siap dengan sajian pemandangan deretan gedung-gedung, kemacetan jalan raya,
dan banyaknya manusia yang mondar-mandir.
“Loh, Iyung anakku wes mbalek le…,” ujar ibu kawanku menyambutnya
pulang kerumah.
“Nginep le Iyung?” lanjut bertanya dan sorot matanya mengarah
kepadaku dan 2 temanku.
“Nggeh buk, niki kaleh rencang-rencang,” jawab temanku.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala, malu-malu melirik ke arah
ibu kawanku itu.
“Ayo anak-anak makan dulu,” ajak ibu kawanku sambil mempersilahkan
kami masuk.
Kami berempat masuk melalui pintu belakang, aku mesem mendengar
percakapan kawanku dan ibunya tadi meskipun sekilas, pasalnya kawanku tadi
terbiasa berbicara dengan teman-teman ketika di kampus menggunakan bahasa
Madura, namun ketika berbicara denganku ia sering menggunakan bahasa Indonesia,
kadang juga mengajakku berdialog menggunakan bahasa Jawa, kusadari ia juga
hendak belajar bahasa Jawa. Sering kudengar juga percakapan kawanku tadi dengan
ibunya, ketika si ibu bertanya dengan bahasa Jawa, kadang kawanku menjawabnya
dengan bahasa madura. Kejadian itu mengingatkan ku pada keluargaku di rumah,
bagaimana aku dan 2 saudaraku juga berbeda-beda ketika berdialog dengan orang
tua kami; adikku yang kedua menggunakan bahasa Indonesia, kadang bahasa Madura
ketika berbicara dengan orang tua kami, jarang dia menggunakan bahasa Jawa,
berbeda dengan adikku yang ketiga sama sekali tidak bisa berbahasa jawa, maklum
karena dia banyak bergaul dengan teman-teman sebayanya dan mayoritas masyarakat
di lingkungan rumahku adalah suku Madura, sedang aku berdialog dengan orang tua
kami menggunakan ketiga bahasa tadi (Jawa, Madura dan bahasa Indonesia), ibuku
lah yang banyak mengenalkanku dengan kosa kata bahasa jawa dan kami sering
berdialog dengan bahasa itu, selain itu fenomena yang sering aku lihat dirumah
antara ibu dan bapaku sering berdialog menggunakan bahasa Jawa.
Hal yang mungkin berkaitan dengan beragamnya bahasa yang kami
gunakan dalam berdialog di dalam keluarga kami, yang meskipun belum kutelusuri
kebenarannya, namun seperti yang pernah ibu sampaikan kepadaku bahwa; Mbah kung
(kakek) buyut itu berasal dari Pulau madura dan Mbah Uti (nenek) buyut berasal
dari Yogyakarta. Pernah sekali kutanyakan pada ibuku soal bagaimana silsilah dari
ibu dan bapaku utnuk menelusuri lebih jauh apa yang pernah ibu sampaikan
kepadaku;
“Memang benar Mbah Kung dan Mbah Uti Buyut itu asli dari Madura dan
Yogyakarta, bu?” tanyaku,
“Iya mas, dulu Mbah Kung pernah cerita dan ngomong begitu, makam
Mbah kung Buyut ada di Prasi (Desa Pedalaman Ibu Kota Probolinggo), berasal
dari Bujuk Poteran Madura dan Makam Mbah Uti Buyut ada di sini, di Gending,
Mbah Uti Buyut itu masih keturunan Keraton Yogyakarta mas, nama bapak dari Mbah
Uti buyut itu R. Kertoadmojo” jawab ibuku.
Seketika aku teringat, saat berziarah ke makam Mbah Uti Buyut, pada
batu nisannya tertulis awalan namanya R.A. setelah itu nama Mbah Uti Buyut. Raden
Ajeng (R.A.), gelar untuk cucu, cicit, dan piut raja yang belum menikah, pada
umumnya merupakan simbolisasi kekerabatan pada golongan priyayi yang ditandai
dengan adanya gelar pada nama seseorang yang masih memiliki hubungan darah
dengan penguasa Mataram atau masih keturunan bangsawan yang pada masa kekuasaan
Kesultanan Mataram, masyarakat Jawa dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu
priyayi atau bangsawan, santri, dan abangan. Namun ketika sudah menikah dengan
Mbah Kung buyutku harusnya awalan namanya berubah R.Ay. (Raden Ayu), gelar
untuk cucu, cicit, dan piut raja yang sudah menikah. Meskipun informasi itu
kudapatkan langsung dari ibuku, tetap harus kutelusuri kebenarannya dan ketika
aku bertanya hal yang sama kepada bapaku, jawab bapaku ketus dan seolah tak mau
melanjutkan dialog semacam itu, serupa tidak ingin menjelaskan bagaimana detail
silsilah keluargaku, karena kufikir bapaku lah yang mengerti soal seperti ini;
“Sudah mas, asal-usul keluarga memang penting, tapi yang lebih
penting adalah bagaimana kita menyikapi hidup. Kebanggan terhadap nama besar
leluhur kita cukup dipendam di dalam dada saja mas, kita tidak perlu berlebihan
berbangga-bangga pada nama besar leluhur kita,” pungkas bapaku.
“Kamu lah yang bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri mas,
jangan suka bergantung pada siapapun, lebih-lebih terhadap nama-nama besar
leluhurmu,” imbuhnya.
Aku bungkam, benar juga, orang tidak boleh hanya berhenti pada
nama-nama besar pendahulunya, orang-orang Eropa sana dan berbagai negara
lainnya dapat maju peradabannya karena mereka berbangga-bangga pada ilmu
pengetahuan, bukan nama-nama besar pendahulunya dan itu yang membesarkan diri
mereka. Kejayaan yang telah diraih oleh setiap bangsa besar selalu di dasari
oleh ilmu pengetahuan, dan teknologi adalah bagian dari upaya pengembangan ilmu
pengetahuan yang mereka miliki. Dapat lah kita belajar dari semua itu, semua
bangsa-bangsa besar tadi, lihatlah USA; mereka mampu mendominasi dunia melalui
ilmu pengetahuan, teknologi, riset dan inovasi, suatu hal yang mereka lakukan
selama kurang lebih dua setengah abad lamanya, lebih-lebih pasca Perang Dunia
ke-II yang hari ini memasuki dekade ke tujuh usianya. Lihatlah China, Jepang,
India, Korea, Singapura yang juga bangkit pada era kini.
Ingatkah bagaimana perkasanya Emperium Turki Utsmani yang mampu
mendominasi Asia, Timur Tengah, Eropa Timur dan Afrika, enam ratus tahun
lamanya. Dengan daya apa mereka membangun itu semua? Bukankah dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang membuat Utsmani mampu mengungguli bangsa-bangsa
Eropa, Asia dan Afrika saat itu.? Apabila upaya-upaya yang mereka lakukan dalam
menahlukkan wilayah-wilayah di berbagai belahan bumi ini hanya di dasarkan pada
oleh mahadahsyatnya angkatan bersenjata ataupun militer serta teknologi
tercanggih sekalipun yang mereka miliki, tanpa dilengkapi seperangkat ilmu
pengetahuan, mereka hanya akan terlihat seperti segerombolan kera-kera yang
dipersenjatai, sehingga peralatan yang memadai sekalipun tak akan ada gunanya.
Belum lekang juga dari ingatanku, bagaimana Jepang mampu bangkit
dari keterpurukan setelah Perang Dunia ke-II, diluluh lantahkan oleh bom atom
yang dijatuhah pada dua sentral kota mereka; Hirosima dan Nagasaki. “Berapa
jumlah guru yang tersisa?” adalah kalimat yang terkemuka dari Hirohito atau
Anumerta Kaisar Showa, Kaisar Jepang kala itu. Ketika mendengar berita pemboman
tersebut, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang pada saat itu segera
mengumpulkan para Jenderal yang tersisa. Pertanyaan mengenai jumlah guru yang
tersisa ini lantas membuat bingung para Jenderal. Sebab, semula mereka mengira
sang Kaisar akan menanyakan perihal tentara, alih-alih guru yang masih tersisa.
Hirohito menegasakan kepada para Jendralnya;
“Jepang telah kalah dan jatuh sejatuh-jatuhnya, kejatuhan ini dikarenakan
mereka tidak belajar dan Jendral juga tentaranya boleh jadi kuat dalam senjata,
juga strategi perang, namun mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang
telah dijatuhkan Amerika Serikat”.
Ia kemudian menambahkan; “Jepang tidak dapat mengungguli Amerika
jika mereka tidak memiliki keinginan dan usaha untuk belajar!”.
Itulah yang kemudian menginshafkan para Jendral Hirohito, sehingga
tergerak untuk mengumpulakan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok
jepang, hal itu juga di dasarkan pada kesadaran sang Kaisar serta para
Jendralnya bahwa kepada guru lah seluruh rakyat Jepang saat itu harus bertumpu,
bukan kepada pasukan militer. Oleh sebab itu semua, ilmu pengetahuan lah yang
mampu membuat manusia melangkah menuju arah kejayaan, itu pula yang mereka
gunakan untuk membesarkan nama bangsanya dan bangkit menuju kejayaan.
Kembali lagi kerumah kawanku Iyung, nama yang diberikan ibunya
sejak kecil hingga saat ini. Di Desa ini Iyung tinggal, bersama ibu dan
bapaknya, ia anak ke tiga dan satu-satunya laki-laki dari empat bersaudara. Iyung
terkenal pendiam di lingkungan keluarganya, ibunya yang menyampaikan itu padaku
ketika kita duduk dan berbincang di ruang keluarga; “iyung iku le… arek e
menengan, kat cilik yowis gak onok omonge, maklum mbiyen duline gak pernah
nandi-nandi, paling yo ndek ngarep omah, gak nduwe konco le (Iyung itu le….
anaknya pendiam, sejak kecil memang jarang berbicara, maklum dulu bermainnya
tidak pernah kemana-mana, mungkin cuma di depan rumah, tidak punya teman le…
(sambil tertawa kecil),” aku, iyung dua kawanku hanya menyimak pembicaraan si
ibu sambil mengangguk-anggukan kepala.
Memang, karakter pendiam itu agaknya menjadi ciri khas Iyung di
lingkar pertemanan kami selama di kampus dan dapat kusadari bahwa hal itu bawaan
sejak dia kecil. Beberapa hal lain yang cukup menyita keherananku kala itu,
setelah aku mengamati lingkungan sekitar rumahnya, juga lingkungan keluarganya
yang bercorak budaya Madura, namun dari beberapa pengalamku selama bersama
Iyung dan seringnya kami berbincang tatap muka, ia banyak menghafal dan
memegang falsafah hidup orang Jawa, falsafah Jawa adalah bagian integral dari
kebudayaan Jawa. Pasalnya disini, di lingkungan yang sarat dan kental dengan
budaya Madura, bagaimana bisa Iyung memegang falsafah hidup orang dalam budaya
Jawa. Pernah, di satu kesempatan ketika kami duduk berdua dan berbicang iya
menyampaikan hal yang sifatnya prinsipil bagi orang-orang Jawa; salah satunya “Memayu
Hayuning Bawana,” Idiom lokal Jawa yang mengatakan Memayu Hayuning
Bawana, menjadi sebuah landasan yang sangat penting dalam tataran yuridis ekologis
maupun aspek lainnya. Ya… Suatu tuntutan keselarasan yang merupakan nilai-nilai
dasar perilaku masyarakat Jawa sebagai sebuah penghayatan kelompok atau
komunitas masyarakat yang bersifat terbuka, holistik dan menjadi wahana sikap
dasar masyarakat untuk mencapai pencerahan hidup. Konsep Mamayu hayuning bawana
(menciptakan kemakmuran di bumi) adalah cerminan perilaku masyarakat Jawa dalam
menyelaraskan tatanan yang berdasar pada konsep makrokosmos dan mikrokosmos,
harmonisasi jagad gumelar (Makrokosmos) dan jagad gumulung (mikrokosmos)
(Benedict Anderson, 2008). Satu lagi kalimat yang terikat erat dengan
nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh masyarakat jawa yang pernah
terselip dan juga ia sampaikan dalam percakapan kami berdua; “Suro Diro
Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti,” suatu falsafah Jawa yang memberikan
panduan bagi manusia untuk hidup harmonis dengan alam dan sesama, menjalani
hidup dengan arah atau tujuan yang jelas, melebur perbedaan antara manusia,
merasakan kebahagiaan dalam perjalanan, dan bertindak dengan bijaksana dan
kearifan. Kata “Suro” berarti “petunjuk”, sedangkan “Diro Joyoningrat”
berarti “harmoni” atau “keselarasan”. Kata “Lebur” berarti “melebur” atau
“menyatukan”, sedangkan “Dening Pangastuti” berarti “kebaikan” atau
“kebenaran”. Secara keseluruhan, aksara Jawa ini memberikan petunjuk bagi
manusia untuk hidup harmonis dengan alam dan sesama, serta meleburkan perbedaan
antara manusia dan bertindak dengan bijaksana. Entah bagaimana kawanku itu
dapat menghafalnya dengan baik dan menjadikan kalimat tadi sebagai falsafah
hidupnya. Belakangan dapat ku ketahui, hal itu ia dapatkan oleh sebab
ajaran-ajaran yang ia dapatkan saat berada dan belajar di salah satu perguruan
silat di kota ini yang budayanya sarat dengan budaya Jawa. Lebih dari soal apa
yang Iyung sampaikan dalam dialog kami berdua, bagiku hal itu adalah pepipiling
(pengingat) untukku yang kadang sengaja lupa dengan falsafah hidupku
sebagai orang jawa.
Kembali lagi ke tempat ini, meskipun termasuk pedalaman, aku cukup
mendapatkan pelajaran berarti disini; ya, suatu peradaban yang maju soal unggah-umgguh
yang sekali lagi berbeda jauh dengan Desa Mangli; orang-orang disini, meski
aku rasa antara satu orang dengan orang lainnya belum saling mengenal, namun tidak
canggung rasanya untuk bertegur sapa atau sekadar bertegur senyuman. Setibanya
kami disana, kami merasa harus menyimpan tenaga kami dan kami memutuskan untuk
beristirahat, agar keesokan harinya kami dapat melanjutkan aktivitas.
Komentar