Di Suatu Kota, Aku Terbakar Sendirian
Aku berjalan ke arah jendela dengan kaki menjinjit, ku belalakkan jendela kamarku, sekejap pandang kulihat pepohonan di pelataran terbit bermunculan dalam sentuhan lembut sinar matahari, kemerah-merahan sinarnya merambat pada batang-batang pohon. Tonggeret, serangga yang suaranya lebih nyaring dari suara yang keluar dari mulut trombon, bising namun cukup menjadi alaram yang diberikan alam secara cuma-cuma. Slebb... udara sejuk merangsak masuk ke pori kulitku, ku raih arloji disebelah bantal. jam 5 pagi. Namun kepalaku tetap berdenyut-denyut, kuambil sebatang rokok terlepas dari selongsongnya; cepat, sangat cepat hisapan demi hisapan membuat nafasku terasa menggap-menggap, hingga seisi ruang kamarku penuh asap; bola mataku berair, perih!.
Apa yang harus aku perbuat sekarang? bahkan aku tak tahu, rasa-rasanya daya kemauanku mendekati kepunahannya. Tidak! aku belum dan tidak merasa tua! aku menyadari; bahwa aku hanya membutuhkan sesekam semangat untuk kubakar. Tanpa semangat itu, mati tersekatlah aku di dalam ruangan persegi yang pengap ini. Perlahan mulai kususun kesadaran di dalam kepalaku, bahwa rajutan tiap-tiap pejalanan telah membawa langkahku semakin jauh. Keyakinanku menuju purnama; kemanapun kakiku melangkah, ia tak boleh sekalipun melunak pada pudaran waktu. Keyakinan ini menjadi obat mujarab dalam setiap batu-tarung hidupku, lebih baik dari yang dijejalkan dokter manapun.
Pagi secerah ini, harusnya tak ku sesaki dada dan kepalaku dengan huru-hara yang tak berwajah itu. Dunia modern memang syarat dengan berbagai macam percepatan, pun penanda peradaban manusia yang semakin canggih di dalam perkembangannya . Hanya aku merasa bahwa gejolak yang ada di dalam diriku serupa gelembung akibat samudera kehidupan yang telah teraduk unsur-unsur modern, dan seketika tiba waktunya ia meletus; mengkanvas gelisah, kekhawatiran hari depan, konsekuensi-konsekuensi senjakala, ah... penuh ketidakpastian!.
Angka ke dua puluh lima pada tahun hidupku kini bukanlah angka yang tergolong tua pada usia hidup seorang manusia. Dua puluh lima tahun lamanya aku telah menjadi manusia sebagaimana yang aku inginkan. Segala hal yang lewat depan muka ku, turut serta membentuk diri ku. Aku sendiri adalah manusia yang sejak kecil banyak di didik dengan asas-asas yang lebih dekat dengan kemanusiaan dan segala persoalannya. Ibu ku sendiri lah yang banyak mengajarkan ku untuk tetap berpegang teguh pada akal sehat dan keluasan budi pekerti, pun setia dan jujur pada hati nurani sendiri. ya.... suatu kekuatan yang lebih besar dari kekuatan ku yang telah memberikan pada ku suatu perangai dan watak baru untuk memerangi hidup. Aku banyak berhutang pada ibu ku; bahkan jika ku hitung sisa hidup ku sendiri, rasanya tak akan cukup untuk melunasinya. Dengan segala bentuk pendidikan, pengajaran ibu ku pula, aku dapat menyadari bahwa ia lebih memahami bekal hidup seorang manusia yang seusia ku saat ini. Tentu, bekal berbeda dengan yang ibu berikan kala aku memasuki Taman Kanak-kanak; yang ku ingat, seperti biasa pukul 4 pagi ibu sudah bangun, klontang...klonteng bunyi alat-alat masak yang beradu di dapur, suara kompor yang di nyalakan, dan suara beras yang di aduk-di cuci, adalah pertanda ibu ku telah menyiapkan bekal untuk ku bawa ke sekolah esok hari, sekaligus menyiapkan sarapan untuk kami sekeluarga. Sederhana; penyet tahu-tempe, jika beruntung ibu ku dapat memanen daun pohon kelor di samping dan belakang rumah yang dapat diolah mejadi sayuran, memenyet telur yang di kukus atau terong yang di bakar. Jika kurang beruntung, kami sekeluarga hanya bisa menyantap nasi yang disampingnya di taburi garam, atau nasi yang di temani penyet cabai dan garam. Terkadang, bapak mengajak ku pergi memancing di sungai belakang rumah, dengan harapan dapat memindahkan ikan ke piring makan keluarga di rumah. Namun hari ini, sungai di belakang rumah itu tidak dapat lagi menjadi sandaran hidup, sekalian sekadar memenuhi kebutuhan lauk kami di rumah. Pasalnya, air sungai di belakang rumah ku sudah tidak sejernih dahulu, sekarang airnya mengeluarkan bau menyengat dan berwarnah hitam, jangankan kami sekeluarga dan orang-orang yang hidup di pinggiran sungai dan terbiasa menggantungkan hidup, juga banyak aktifitasnya bertumpu pada sungai seperti; mandi, mencuci, memancing dan aktifitas lainnya, ikan-ikan pun sepertinya enggan untuk hidup dan berenang di sana.
Dengan keadaan semacam itu, tak pernah aku dan adik-adikku merasa kekurangan sedikitpun. Ibuku pernah berkata padaku;
"Mas tahu keadaan keluarga kita sedemikan adanya, tapi jangan khawatir soal keberlangsungan hidup; boleh jadi mas berfikir daya ekonomi kita tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga kita, tetapi mas harus meyakini bahwa rahmat Tuhan lah yang akan mencukupi dan jaminan itu akan selalu ada bagi siapapun yang yakin, mas".
Aku tahu saat itu ibu coba menghibur batinku, tapi belakangan aku menyadari bahwa apa yang ibu sampaikan itu adalah bekal yang sangat berarti untuk ku hari ini dan di masa mendatang; teguh dalam keyakinan dan selalu bersandar pada-Nya; bahwa Tuhan lah yang menjamin hidup seluruh mahluknya.
Pernah kau lihat semut, atau mahluk lainnya yang di sebut binatang? bukankah mereka tidak dikaruniakan akal, suatu hal yang istimewa serupa yang di karunikan Tuhan pada manusia? lalu, bagaimana kelangsungan hidupnya? apakah mereka juga merasa gelisah, di terpa ketidakpastiaan hari depan dan apakah mereka juga merasa kebingungan untuk mencukupi segala hal dalam mencukupi keberlangsungan hidupnya? jika tidak, siapa kemudian yang menjamin keberlangsungan hidupnya? Apakah mereka juga memiliki spirit keyakinan serupa manusia? tentu tidak!. Dengan tidak di lengkapinya piranti akal serupa manusia, binatang pun tidak mampu memproduksi ketakutan, kekhawatiran, kegelishan ihwal keberlangsungan hidupnya.
Ketakutan, kekhawatiran, kegelishan, keberanian, optimisme, pun susah, sedih, juga gembira adalah sahabat karib bagi jiwa manusia. Hanya manusia pula lah yang pengetahuannya dapat akumulatif dan progresif, dan hal itu tidak terdapat pada mahluk lainnya. Itu sebabnya, mengapa ibu membekali ku dengan keyakinan yang tebal, lebih tebal dari tembok Berlin di Jerman, lebih kokoh dari tembok besar Tiongkok. Nampaknya tak sedikit petuah-petuah dengan tajuk prinsip-prinsip hidup yang ibu selipkan dalam percakapan di antara kami berdua. Satu waktu dalam percakapan kami berdua, ibu menyampaikan pada ku;
"Mas, jadi orang itu harus berani!"
"Berani?" sambil ku kerutkan otot-otot dahi, belum jelas berani macam apa yang ibu maksud.
"Ya mas, keberanian itu harusnya berdampingan dengan setiap kiat-kiat hidup manusia, menghadapi apapun yang tanda tanya, serupa kehidupan ini yang serba diliputi ketidakpastian. Asal mas yakin pada suatu dasar kebeneran yang luhur, jangan pernah tunduk pada apapun itu. Satu hal lagi mas, jika keberanian itu telah tegak dan sejajar dengan kebenaran, maka tidak ada seorang pun yang mampu melumpuhkan, merobohkannya".
Aku terdiam menatap sorot mata ibu ku, nampaknya ibu bersungguh-sungguh mengucapkan itu.
"Mas ini anak laki-laki, sekaligus anak pertama. Mas, musti jadi contoh untuk adik-adik kelak! Ibu dan bapak tidak hidup selamanya, Ibu dan bapak pun tidak bisa mendampingi mas dan adik-adik selamanya, kalau bukan mas, pada siapa lagi ibu titipkan adik-adik? Setidak-tidak nya, bapak dan ibu ini sudah memasuki usia senja, hari depan adalah masa kalian; diri mu dan adik-adik mu sekalian, maka besar pula tanggung jawab mu sebagai lelaki, pun anak pertama di keluarga kita, mas. Didik lah diri mu untuk berani, jangan lupakan juga adik-adik mu itu, mereka juga harus kau didik berani!"
"Inggeh, ibu" jawabku mengehela nafas panjang.
"Memang umur manusia tidak ada yang tahu mas, dan setiap kelahiran manusia juga bersamaan dengan kutukan kematian atasnya, dan itu pasti! Hanya ibu berkewajiban membekali anak-anak ibu dengan asas-asas kebajikan, utamanya keberanian menghadapi hidup" lanjut ibu padaku.
"Ibu, bagaimana aku memperoleh kebernian itu?"
"Ya mas, keberanian itu tidak jatuh begitu saja dari langit, keberanian itu hasil latihan hidup sehari-hari. Pelajaran pertama adalah jangan lari pada setiap apapun yang datang, hadapi!"
"Pernah mas tahu orang terkuat di bumi?"
"Tidak ibu"
"Bukan soal siapa orangnya mas, tapi tidak ada seorang pun yang dapat disebut orang terkuat di bumi jika tidak pernah menaklukan lawan barang sekali dalam hidupnya! atau bagaimana ia mendapatkan predikat sebagai orang terkuat tanpa sekali dalam hidupnya bertandang dengan kekuatan-kekuatan orang di luar dirinya? begitupun dengan manusia yang disebut pemberani, ia harus banyak berhadapan dengan marabahaya atau apapun yang ada di depan mukanya. Jika lari, apakah pantas ia disebut manusia pemberani?"
"Dia lari, dia tidak berani, bukan seorang pemberani, bu"
"Ya mas, jangan lari, hadapi, selesaikan!"
Seketika aku teringat pada bapak ku, ya.... manusia yang memilik cara berbeda dalam mendidik aku dan adik-adik ku; ku catat hampir dalam pengalaman hidupku di dalam keluarga ia lebih sedikit berbicara, sedikit bercerita namun penuh perhatian, romantis pada kita semua. Manusia yang banyak mengajarkan kedisiplinan hidup, budi pekerti kepada aku dan adik-adik ku dalam wujud perilaku sehari-hari; lembut yang bukan lunak, keras yang bukan kejam, berani yang bukan nekat. Satu hal yang melekat dari bapak dalam ingatan ku; pada suatu momentum ketika aku hendak memasuki pendidikan tinggi, kali pertama yang mengharuskan aku untuk jauh dari rumah, bapak, ibu dan adik-adik ku. Kalimat yang bapak sampaikan menjelang keberangkatan ku itu, terus berdengung-dengung di dalam kepalaku hingga hari ini;
"Mas, kamu itu sudah harus belajar mandiri, jauh dari rumah boleh jadi mas lepas dari pengawasan ibu-bapak, tapi mas harus tetap ingat; bahwa setiap sikap hidup yang mas ambil, mas harus berani bertanggungjawab dan tidak boleh tidak!. Berani bersikap, berarti harus berani bertanggung jawab. Jangan kamu berbungkuk-bungkuk pada siapapun, mas. Hidup mu sepenuhnya adalah tanggung jawab diri mu sendiri. Tahan lah pada setiap bentuk derita, dan jangan menghalalkan segala macam cara hanya untuk memenuhi kosongnya perut mu itu, lebih-lebih mengharap belas kasih orang lain, kamu harus tegak di atas kaki mu sendiri. Semoga sukses mas, bermanfaat lah pada siapa pun, dimana pun, kapan pun itu. Selalu waspada dan berhati-hatilah lah, penuhi kewajibanmu janga lupa"
"Inggeh bapak" jawabku. Ku ambil ransel di samping kursi, ku cium tangannya,
"Mohon restu, dan doakan saya selalu" ucapku berpamit pergi,
"Ya mas, doa bapak selalu buat mas, adik-adik dan kita semua".
Ku petik dan ku simpan sepenggal kalimat dari bapak yang telanjang tanpa di hias barang sedikit pun dan tanpa tedeng aling-aling itu, kalimat itu terus tumbuh di kepala ku, membentuk pondasi prinsip hidupku. Singkat, namun amat sentimental bagiku.
Terang bagi ku belakangan, bapak-ibu adalah manusia yang teramat mengerti akan kebutuhan hidup ku di masa mendatang, dan apapun yang keluar darinya; ucapan, perilakunya adalah pesan yang mendalam untuk aku dan adik-adik ku sekalian. Sekiranya juga di lukiskan makna-makna yang ada padanya; lebih luas isi kepala dan dadanya dari lautan, seumpama kedalaman, maka pada mereka aku harus lebih banyak menimba kedalaman, melebihi dalamnya samudera, dan seumpama kemegahan galaksi, tak cukup ruang ia menampung megah budi pekertinya. Sekejap ku tarik nafas panjang dalam diam tatapan, ku anggukkan kepala; batin ku lega mengingat semua itu.
"Tok, tok, kreeeekkkkk....," disela denyut yang berderap di kepala dan batin yang mulai melega, kudengar, ku intip dari lamunanku; seorang lelaki berperawakan setengah jangkung, pucat hingga di mulut, dengan kantong mata sebesar tinju, membuka pintu, masuk kedalam kamarku. Kawan sekaribku;
"Belum tidur, atau baru bangun?" tanyaku.
Tak ada jawaban yang ku dengar dari mulutnya. Gubrakkk... kulihat badannya tumbang ke atas kasur tidur ku.
"Lelah!!!!" ucapnya.
Ku lihat ia nampak acuh terhadap keberadaanku, atau mungkin ada sesuatu di dalam pikirannya, sehingga tidak memberikan sejumput perhatiannya kepada ku. Sengaja ku hantam tanya agar ia mau bercerita;
"Ceritakan pada ku, ada apa?"
"Seusia ini kenapa kepala rasanya di sesaki banyak persoalan, tak henti-henti, lagi dan lagi? Terlentang ia, menengadah pandang ke langit-langit kamar, tatapannya kosong, di pegang kepalanya yang padahal tidak hendak copot dari pangkal lerhernya.
Aku tidak mengerti, ku catat dalam beberapa kali pembicaraan dalam banyak kesempatan dengannya di ruangan ini, ia menunjukkan kecenderungan untuk membawaku pada isi kepalanya yang itu-itu saja; mendakwa hidupnya sendiri!. Belum usai lagi denyut di kepala ku, di tambahnya lagi pertanyaan yang di rasa cukup mampu aku mencari jalan keluarnya.
"Sudahlah! bukankah kegiatan berfikir itu memang dekat dengan budaya manusia? Jika manusia mampu menggambar, mencipta persoalan, ia kan juga mampu lepas darinya bukan? Apa yang membuat mu merasa segamang ini pada hidup?" tanyaku.
"Tidak, aku tidak takut. Hanya belakangan, persoalan ini tak pernah ku bayangkan wajahnya, belum pernah pula sebelumnya terbayang akan menghadapinya" jawabnya penuh heran.
"Kau lihat; sejak kanak-kanak hingga seusia ini seluruh anggota tubuh mu bertumbuh, begitupun dengan pikiran mu. Adakah kau dapat menerka jadinya ketika apa yang menyesakkan pikiran mu saat ini terjadi pada mu kala kau masih kanak-kanak? Tentu pikiran mu tak akan di huni oleh tamiya atau mobil-mobilan sejenisnya, kelereng, layang-layang, dakon, gasing dan film kartun di akhir pekan. Ya.... meskipun hal-hal itu hampir tak terpikirkan oleh manusia pada usia kanak-kanak di zaman ini; arus zaman begitu kuatnya, teknologi hampir sangat dekat dengan kebutuhan manusia. Lihat lah sekitarmu, banyak anak-anak yang bola matanya tak mau lepas dari layar handphone, tangannya begitu lincah menari di atas benda yang mengasingkan ia dari petak umpet, lumpur di sawah, bola kaki, senapan peluru kertas atau pistol pelepah pisang dan permainan anak seusianya, atau sekedar membantu pekerjaan orang tua di rumah. Mereka oleh dunia modern sengaja di asingkan dari lingkungannya, dari dirinya sendiri dan hakikatnya sebagai manusia, dan hal itu tak hanya terjadi pada manusia seusia mereka; seusia kita, atau bahkan yang lebih tua juga yang telah senja usianya tak mau kalah gila nya, hanya karena takut di bilang ketinggalan zaman dan kuno. Tak mau susah-susah berusaha dengan alasan; lebih praktis dan mengefesiensi tenanga, tak sadar mereka hendak di sulap menjadi mekanis seperti mesin. Kau sendiri, coba bayangkan di usia kanak-kanak itu, kau sibuk meringkuk sepi di kamarmu; dengan tatapan kosong penuh kemurungan, kepalamu berdenyut-denyut, gelisah tak menentu menghadapi hidup, dan rasanya tak mungkin Tuhan memberi masalah pada mu di luar batas usia anak-anak kala itu". Aku mengkhotbah mencerca keheranannya.
"Jika begitu, apa yang harus ku lakukan?" ucapnya singkat, seolah khotbah ku tak menyingkap makna.
"Pertama, aku tak mengerti gejolak yang ada di dalam kepala dan dadamu, berusaha lah mencari pemecah masalah mu sendiri! Sekiranya kau hendak menjadi seorang pelaut handal, kau mesti tahan dan mampu menerjang keras ombak samudera, sendiri! kedua, segala persoalan yang ada di kepala mu itu-da tak akan menimbulkan bahaya apapun, biar kau berlarut-larut memikirkannya. Selama tak ada senjata api di tangan mu, tak bakal terjadi apa-apa"
Ia tertawa, mungkin mentertawakan hidupnya yang babak-belur, lagi tak mendapatkan keuntungan hanya dengan berdiam diri dan mendakwa hidup yang begitu-begitu saja. Seketika, pembicaraan kami berdua terhenti, ia memalingkan tubuh jomponya pada tembok dan selang waktu hilang di telan kantuk.
Aku putuskan untuk pergi ke pelataran rumah sewa ini, menginggalkan kamar, juga kawanku yang pulas dalam tidurnya. Di pelataran, ku lihat batu-batuan, kupu-kupu dan pepohonan; pagi yang cerah dan ku taruh hormat pada segala rahmat Tuhan dalam tata-cetak warna keindahan mahluk hidup-Nya yang dapat ku indera dengan syukur. Tujuh tahun tujuh bulan aku telah menjejakkan kaki di kota ini, bukan juga waktu yang singkat bagi seseorang yang pergi dari halaman kotanya untuk menempuh pendidikan tinggi. Kala gelisah menyerang dada dan kepala ku, seketika aku teringat pada ibu ku. Ku ambil handphone ku, aku ingin batin ku lega; berbicara dan mendengar petuah-petuahnya. Barangkali hanya itu yang dapat ku lakukan untuk mengobati batinku;
"Ibu apa kabar?"
"Ya mas, ibu sehat. Tumben telfon sepagi ini mas?"
"Apa saya mengganggu waktu ibu?"
"Oh, tidak mas. Ibu tidak juga punya kesibukan. Kenapa mas?"
"Tidak ada apa-apa bu, saya ingin berbicara dengan ibu saja" jawab ku, seoalah semua baik-baik saja
"Jangan berbohong pada ibu mu ini mas, ibu dapat merasakan batin mu itu. Tak hendak kau ceritakan sedikitpun, tak masalah. Tapi mau sebesar-sedewasa apapun diri mu itu mas, diri mu tetap anak ibu, batin mu itu terikat dengan ibu. Dari perut siapa kiranya kau di lahirkan, jika bukan dari ibu mu ini? Tidak kah kau lihat sisa potongan tali pusar yang dahulu menjadi pengikat antara tubuh mu dengan tubuh ibu pada perut mu itu? Meski tali pengikat itu telah terputus, jangan kau kira ikatan batin kita terputus pula, nak" Benar terka ku, sekali lagi ibu ku menunjukan bahwa ia adalah manusia yang benar-benar dapat merasa lebih dalam, berfikir lebih jauh.
"Maafkan aku ibu, pada usia ku saat ini belum lagi aku dapat membanggakan mu, adakah ibu melihat aku tumbuh tanpa pencapaian atas karir yang gemilang serupa manusia seusia ku? Lihatlah bu, alih-alih aku dapat membantu ekonomi keluarga dan membuat ibu-bapak bangga atas capaian karir ku, aku pun belum dapat menuntaskan tanggung jawab akademik ku sendiri, tak selesai aku menunaikan pendidikan tinggi ku ini" Jawab ku mengadu resah. Matahari semakin meninggi, dan resah ku lebih tinggi lagi.
Ku dengar helaan nafas panjang dari handphone di telinga ku;
"Hmmm.... Mas, mas..... kamu ini, berlebihan menerka keinginan ibu dan bapak mu ini" Ucapnya seolah persoalan karir bukan lah persoalan yang penting, ia selipkan pula tawa-tawa kecil dalam ucapannya.
"Iya ibu, bukankah kegemilangan karir seorang anak adalah dambaan setiap orang tua bu? Ku lihat banyak sejawat ku begitu pesat lajunya mendaki dan mencapai puncak karirnya, sedang aku tetap begini-begini saja, aku malu pada ibu juga , aku hanya dapat menyusahkan saja!" Dakwa pada diri ku sendiri semakin beringas.
"Agaknya mas belum sepenuhnya mengerti, apa guna pendidikan bagi manusia itu! dan mas belum sepenuhnya memahami mengapa bapak dan ibu mu ini ingin kau dan adik-adik mu terus belajar dan berpendidikan tinggi"
"Mendapat gelar dan mendapat kerja yang layak, bu?" Jawabku.
"Pekerjaan? Kau yakin pekerjaan yang layak dapat membesarkan, melapangkan dada mu itu? jangan sesekali kau berfikir hasil dari kau belajar di pendidikan tinggi semata-mata untuk mendapat pekerjaan, mas. Tak ada kaitannya latar pendidikan mu itu dengan pekerjaan yang kau jalani! Setiap pekerjaan itu mulia, dan setiap orang yang bekerja itu mendapat kemuliaan, tentu kerja tak asal kerja; menipu, merampas hak orang lain serupa korupsi dan sejenisnya, bukan lah pekerjaan mas! Tidak kah kau lihat pula; berapa banyak manusia jebolan pendidikan tinggi itu yang malu untuk bekerja, hanya karena pekerjaan itu tak sesuai dengan latar pendidikan tingginya? ya.... mereka lari dan menjauh dari kemuliaan diri. Gelar apalagi, bukankah itu cuma hiasan lambang gengsi? Apa yang hendak kau banggakan dari seonggok gelar itu? Munkar dan Nakir pun tak bakal peduli dengan hal itu, bahkan ibu mu ini tak sedikitpun menaruh bangga pada gelar yang nanti bakal kau sandang, bahkan sekalipun gelar itu berderet di depan dan belakang nama mu, jika pendidikan yang telah kau tempuh tak mampu membesarkan budi pekerti mu, tak menghaluskan perasaan mu, lebih-lebih lagi kau tak dapat berguna bagi sekitar mu, ibu tak bangga sedikutpun, mas! Lihat lah pula pada kebanyakan orang-orang Eropa, adakah mereka membesarkan diri dari kebesaran nama, juga gelar? tidak mas, mereka berbangga-bangga dan membesarkan diri nya dengan ilmu pengetahuan, dan bagi kita sekalian; selain ilmu pengetahuan, budi pekerti yang luhur haruslah juga di ikut sertakan dalam proses membesarkan diri manusia. Itu guna pendidikan yang harus di pahami, lagi sadari, mas! Perlu juga kau ingat, mas; orang dapat besar karena besar pula tindakannya, perangainya, besar jiwanya! "
Dua menit, tiga puluh detik khotbah ibu ku tak ku sela, ia sampaikan pada ku segala hal yang belum ku pahami secara utuh, utamanya guna pendidikan bagi seorang manusia dan harapan orang tua terhadap anaknya yang menempuh pendidikan tinggi.
"Terimakasih ibu, kalimat ibu serupa obat buat ku. Memang belakangan ini banyak hal yang ku pikirkan, termasuk pula persoalan karir itu, bu!"
"Sudah lah mas, jangan terlalu kalut dalam bayang-bayang hari depan. Kerjakan lah segala hal yang dapat kau kerjakan hari ini, jangan menunda-nunda pekerjaan! oh iya mas, bagaimana studi mu?" Pertanyaan terakhir itu membuatku sibuk mencari alasan dan aku terpojok oleh malu pada diri ku sendiri, kalimat itu pun cukup memekik di dalam kepala ku.
"Memasuki babak akhir bu, segera ku tuntaskan!" jawabku kontan dan coba meyakinkan ibu. Dengan itu aku berharap tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan aku untuk lebih keras mencari alasan dan lebih terpojok lagi. Aku pun menyadari, bahwa aku manusia yang tak luput dan tak bebas dari kekeliruan. Namun seringkali Ibu menyediakan untuk ku suatu ruang maaf penuh maklum untuk mendidik anak manusia secara baik.
"Mas, ibu amati kau sudah cukup cakap dalam berbicara dengan ibu mu ini. Apakah sudah banyak buku yang kau baca sejak menempuh pendidikan tinggi di sana?"
"Tidak banyak bu, barangkali hanya sepenggal-sepenggal, dan banyak yang tak tuntas ku baca" Jawabku tak mengerti apa maksud tanya ibu ku itu
"Ya mas, kau sudah mau dan mampu membaca buku, meski sepenggal. Banyak-banyak lah kau tambah bahan bacaan mu itu. Tapi jangan lupakan; kau juga jangan hanya tinggal terampil membaca buku, kau juga harus mampu membaca hati mu sendiri, lihat lah pada kedalaman nurani mu itu; jujur dan bersetialah pada kata hati mu sendiri! lagi, soal tanggung jawab studi mu itu, tak perlu kau berjanji pada siapapun, termasuk ibu mu ini, cukup kau berjanji pada diri mu sendiri. Jika pun tak dapat kau tuntaskan studi mu itu, maka kau tak akan jatuh malu pada orang selain diri mu sendiri!.
"Baik bu, semakin aku mengerti sekarang"
"Baiklah mas kalau begitu, ibu tutup dulu telfonnya. Ibu hendak memasak untuk makan siang nanti"
"Terimakasih, bu" jawab ku sekali lagi, pun sekalian penanda dari akhir percakapan kami di pagi ini.
Tak habis terka aku mendengar apa yang ibu sampaikan pada ku. Sejak sedari tadi kami berbincang, aku rasa ia lebih terpelajar dan daya didiknya lebih dapat ku pahami dari apa yang dosen-dosen sampaikan di tempat ku menempuh pendidikan tinggi. Jelas bagi ku; dari banyak hal yang ibu sampaikan, aku rasakan hal itu tak banyak di ajarkan di bangku-bangku pendidikan tinggi tempat ku belajar. Menembus lorong kegelapan adalah juga tugas bagi setiap kaum terpelajar, lebih-lebih yang telah menempuh pendidikan tinggi untuk menyambut hari depan yang cerah, dan pendidikan tinggi juga sekolahan pada umumnya tidak mengenalkan, mengajarkan hal itu. Wajar kemudian jika kebanyakan jebolan pendidikan tinggi tak cukup keberanian menghadapi hari depan, lunglai mereka di terpa cemas, kalut dan gelisah pada putaran zaman.
Belum lagi pada banyak bentuk pendidikan di negeri ku sendiri yang tak banyak mengenalkan bentuk-bentuk kebebasan, utamanya kebebasan berpikir. Pada pendidikan tinggi yang ku tempuh ini, sekurang-kurangnya tak tanggal ingatan ku tentang berbagai bentuk pengekangan di dalamnya; Dosen-dosen yang tak tahan kritik dan tak kenal salah, suka membentak, beringas, juga lebih seram dari sipir penjara, suka menghambat daya nalar dan teramat dangkal budi pekertinya; mereka tak menghendaki kemajuan berfikir sedikitpun, sukar untuk saling memperbaiki diri dari terbitnya pertentangan-pertentangan pendapat. Lebih seram lagi; mereka bebal pada pengetahuannya sendiri yang padahal sedikit membaca. Tak mau mereka melihat ke dalam dirinya sendiri, tak mau malu pada kekurangan pengetahuan oleh sebab kemalasannya sendiri. Lupa mereka pada tugas dasar seorang pendidik; Bahwa hal pertama yang harus mereka lakukan ialah mendidik dirinya sendiri. Selamanya bagi mereka sekalian tak akan mencapai kemajuan jika tak mereka bekali nuraninya dengan kekuatan kesadaran yang utuh, lebih-lebih soal tanggung jawabnya sebagai pendidik!.
Pagi ini, setelah cukup reda gejolak batin dan usai pula percakan dengan ibu ku; aku pergi ke kamar ku, ku ambil handuk yang biasa ku gantung diatas pintu. Hendak aku melangkah ke kamar mandi, ternyata kawan ku terbangun dari tidurnya;
"Hendak kemana kau?"tanya ia yang separuh sadar
"Mandi, ke kampus, hendak ku urus studi ku"
"Haha... (Tawanya seolah meledek ku) se pagi ini? kesurupan setan macam apa diri mu itu?"
"Tutup mulut mu itu, setidaknya kau pergi ke kamar mandi, cuci mulut mu yang bau itu" jawabku kesal
"Masih banyak waktu, besok-besok saja. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai kopi saja?"
Aku tau, ia menghasut ku, tak tau ia bahwa bahwa tekad ku sebulat kepal. Tidak, aku harus tahan dengan hasutnya. Aku berpaling muka, ku tinggal kan ia tanpa ku jawab ajakannya.
Sebelum pergi ke kampus, aku berniat untuk mengisi terlebih dahulu perut ku yang kosong. Di tengah perjalanan menuju kampus, jatuh pandangku pada sebuah gubuk panggung di bahu jalan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, duduk seorang perempuan paruh baya dengan cobek besar di depannya ku lihat ia menjual rujak, makanan yang tidak di setuh lidah ku beberapa tahun belakangan. Perut ku semakin keras berbunyi, keroncongnya tak tertahan lagi. Belum juga aku tiba di pintu, ibu itu melempar senyum santun kepadaku, spontan ku anggukan kepala, sedikit ku doyongkan badan kedepan, ku balas senyum nya. Ia memberi suatu pelajaran berarti untuk ku; satu sikap kesopanan yang tak kenal tua-muda.
"Monggo pinarak, ajenge dahar nopo nak?" (Silahkan mampir, mau makan apa nak?).
"Oh.... Inggeh bu, rujak e stunggal. Mboten ndamel kecambah nggeh bu...." (iya bu, rujaknya satu. tidak pakai kecambah ya bu) Jawabku sekalian simbol aku mengerti pertanyaan dalam bahasanya.
"Loh, saget jawi nak?" (Loh, bisa jawa nak?).
"Hehe.... Inggeh bu" (Hehe.... iya bu).
"Owalah, asli mriki nak?" (Oh, asli orang sini nak? lanjut ia bertanya.
"Sanes bu, kulo teng mriki kuliah. Niki kulo nggeh ajenge bidal teng kampus bu" (Bukan bu, saya di sini kuliah. Ini saya juga hendak berangkat ke kampus bu).
"Owalah... Inggih nak" (Oh.... Iya nak) jawabnya sambil lalu mulai membuat makanan pesanan ku. Setelahnya belum ku dengar lagi ia melempar pertanyaan-pertanyaan pada ku.
Duduk aku menahan dagu di meja kayunya, merenungi sikapnya di awal kedatangan ku tadi. Aku dapati padanya suatu sikap manusia yang tak lepas dari identitas budayanya; Unggah-Ungguh, Aku mengenal itu sebagai suatu sikap yang merupakan kaidah dalam bertutur kata, maupun bertingkah laku dengan tetap menjaga kesopansantunan untuk menghormati, serta menghargai orang lain pada landscape budaya Jawa yang masih ia pegang di zaman modern ini. Pasalnya, banyak ku dapati manusia Jawa yang mengalami krisis identitas di abad ini, lebih-lebih pada generasi mudanya. Betapa mereka tidak mengenali jati dirinya sendiri; tak mengenal asas-asas, kaidah-kaidah dalam identitas budayanya sendiri. Dunia modern memang serupa nyamuk raksasa yang menyedot kepribadian dan corak-corak budaya pada bangsa ini. Bukan hanya Jawa, sekalian ini juga terjadi pada budaya masyarakat di banyak bangsa-bangsa. Belum juga usai renunganku, ku lihat makanan yang ku pesan sudah selesai dibuat;
"Monggo, nak" (Silahkan, nak). Ucapnya sambil lalu menyodorkan makanan itu pada ku.
"Inggih bu, maturnuwun. Mpun dangu sadean rujak e bu?" (Iya bu, terimakasih. Sudah lama berjualan rujaknya bu?) tanya ku membangun percakapan.
"Hehe.... Inggih, lumayan dangu mpunan nak. Dugi tahun 96-an niku mpun nak" (Hehe... iya, sudah lumayan lama nak. Dari tahun 96-an itu sudah nak).
"Owalah Inggeh, dangu sanget mpunan nggeh bu" (Oh iya, sudah sangat lama ya bu).
"Hehe.... Inggih nak, rumiyin kulo nggeh ugi gadah kekajengan kagem sekolah lan kagungan pendidikan ingkang inggil. Naming, kewontenan ekonomi keluwargi kulo wanci niku mboten mempuni, dados kulo putusaken kagem ngrewangi ekonomi keluwargi kalih sadean rujak kados niki, nak" (Dahulu saya juga berkeinginan untuk bersekolah dan punya pendidikan yang tinggi. Cuma, keadaan ekonomi keluarga saya saat itu tidak memadai, jadi saya putuskan untuk membantu ekonomi keluarga dengan berjualan rujak seperti ini, nak). Jawabnya mengulas harapan di masa lampau. Cukup tertampar aku di buatnya. Ia rela mengorbankan cita-citanya untuk keluarga nya, sedang aku yang mendapat kesempatan belajar hingga pada pendidikan tinggi pun masih bertulang punggung jerih orang tua ku. Tak ada sedikit pun hasrat dalam diri ku untuk meringankan beban yang di tanggung orang tua ku itu. Benar-benar tak tau di untung aku menjadi seorang anak, menyusahkan saja bisa ku!.
Belum juga aku merespon apa yang disampaikannya itu, lanjut ia bercerita;
"Senajan kulo mboten kiat ugi supena kula puniko nak, bejo raosipun kula keparing nyekolahaken yugo-yugo kulo dugi kasil nyadean rujak niki, kulo nggeh sampun saget ngateraken kekalih yugo kulo keparing gelar sarjananipun. Kulo bejo malih raosipun; yugo sulungipun kulo puniki saget nempah pendidikan lajeng teng pascasarjana" (Meskipun saya tidak mampu mencapai impian saya itu nak, beruntung rasanya saya dapat menyekolahkan anak-anak saya. Dari hasil menjual rujak ini, saya telah berhasil mengantarkan kedua anak saya mendapatkan gelar sarjananya, semakin beruntung lagi rasanya; anak sulung saya saat ini dapat menempuh pendidikan lanjut di pascasarjana).
Mendengar itu dada ku bergetar, terhenti sendokan nasiku seketika dan aku menaruh bangga pada batu tarung hidupnya.
"Bejo sanget sampeyan niku nak, saget nempah pendidikan ingkang inggil. Pesen kulo, ampun remen nyia-nyiaaken weddalipun namung di damel remen ingkang sanget wonten ngriki. Estunipun lebet sinau. Mesakaken tiyang sepahipun sampeyan teng griyo. Syukur-syukur, sinambi lajeng sampeyan saget nyambut damel, itung-itungipun angsal sakedhik ngentengaken beban tiyang sepahipun sampeyan" (Beruntung sekali kamu itu nak, bisa menempuh pendidikan yang tinggi. Pesan saya, jangan suka menyia-nyiakan waktu hanya untuk bersenang-senang. Bersungguhlah dalam belajar. Kasihan orang tuamu dirumah. Syukur-syukur, kamu dapat bekerja, hitung-hitung dapat sedikit meringankan beban orang tuamu).
Aku merasa batinku sesak dengan rangsangan dan meledak-ledak untuk kesekian kalinya. Dapat pula ku rasakan denyut jantung ku yang geraknya semakin tak beraturan. Sepenggal cerita dari seorang ibu penjual rujak yang tunjang-menunjang menopang hidup keluarganya, dan melalui kedua anaknya itu, ia coba membahasakan hasratnya yang tak surut sedikitpun untuk dapat mewujudkan harapannya dahulu.
"Inggeh bu, Alhamdulillah. matur nuwun inggil nasihatipun njenengan bu, matur nuwun ugi sampun berbagi criyos gesang dhateng kulo" (Terimakasih atas nasihatmu bu, terimakasih juga sudah berbagi cerita hidup kepada saya). Tak ku lanjutkan percakapan dengannya, segera ku santap habis makanan ku. Ku lihat arloji di tangan, waktu ku tidak banyak lagi, dan harus segera bergegas pergi ke kampus.
"Pinten bu?" (Berapa bu?) Tanyaku sambil kulahap suapan terkhir.
"Sedhoso ewu, nak!" (Sepuluh ribu, nak).
"Niki bu, monggo nggeh bu" (Ini bu, mari bu) ku sodorkan uangku itu, lalu aku bergegas pergi.
"Maturnuwun nak, nggeh monggo" (Terimakasih nak, iya silahkan). Ku dengar suaranya dalam langkah pergi ku.
Di atas motor dan di dalam perjalanan ku menuju kampus, laju motorku terasa lambat, sekalipun aku tau lajunya melebihi tujuhpuluh kilometer per jam. Barangkali karena diri ku merenungi banyak hal yang terjadi pada hidup ku sehari ini. Pikiran dan batin ku terasa segar kembali setelah menimba banyak pengalaman hidup pada manusia-manusia tadi. Yang teramat mendalam ku sadari belakangan ialah; tak ada waktu lagi untuk diri ku, hidup ku- Aku harus segera berbenah diri! Aku harus kuat, aku belum rela kalau belum ku tuntaskan semua ini; utamanya membalas budi pada kedua orang tua ku. Ku hela nafas panjang, ku tegakkan tulang punggung ku, yakin aku pada langkah ku, semakin tebal lagi tekad ku.
Komentar