Peradaban dan Brutalitas yang Tersembunyi: Sebuah Paradoks Modernitas
Peradaban,
dengan segala gemerlap kemajuan yang menyelubunginya, bersama struktur
pemerintahan yang hierarkis dan otoritas yang mapan, pada dasarnya hanyalah
sebuah lapisan tipis yang menutupi insting dasar manusia yang sesungguhnya
brutal dan penuh hasrat untuk mendominasi. Di balik klaim rasionalitas dan
kemajuan, brutalitas manusia tetap hidup, hanya menemukan bentuk yang lebih
halus dan tersembunyi. Thomas Hobbes, dalam karyanya Leviathan (1651),
menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami sebagai sebuah peperangan
tanpa henti, Bellum Omnium Contra Omnes, atau “perang semua melawan
semua.” Di sisi lain, Sigmund Freud, dalam Civilization and its
Discontents (1930), memperluas pandangan ini dengan mengungkapkan
bahwa konflik batin manusia antara insting destruktif (Thanatos) dan dorongan
untuk hidup (Eros) adalah sumber penderitaan dalam peradaban modern.
Pemikiran-pemikiran ini memberikan landasan filosofis bahwa meskipun peradaban
telah dibangun, brutalitas tak pernah hilang; ia hanya tersublimasi ke dalam
bentuk-bentuk baru.
Manusia
Purba dan Pertarungan dengan Alam
Dalam
narasi klasik, manusia purba digambarkan sebagai makhluk yang hidup dalam
kondisi alam yang penuh kekerasan, berjuang melawan binatang buas, dan
menghadapi sesama manusia dalam persaingan yang kejam. Hidup mereka adalah
serangkaian perjuangan untuk bertahan hidup. Alam bukanlah sekadar latar
belakang yang pasif, tetapi musuh aktif yang harus ditaklukkan. Hobbes
menganggap bahwa dalam kondisi alami ini, hidup manusia bersifat "brutal,
pendek, dan menyedihkan" (nasty, brutish, and short), di mana
kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti.
Namun,
pertarungan ini bukan hanya melawan kekuatan alam. Sesama manusia juga dianggap
sebagai ancaman konstan, sehingga naluri untuk menaklukkan dan mempertahankan
diri menjadi prinsip yang mendasari hubungan sosial di masa itu. Psikoanalisis
Freud menambahkan dimensi psikologis dari ketegangan ini: manusia terus menerus
berhadapan dengan konflik internal yang bersumber dari naluri-naluri dasar yang
belum sepenuhnya diatasi oleh peradaban.
Transformasi
Modernitas: Kebrutalan yang Terselubung
Ketika
manusia bergerak ke arah modernitas, kehidupan berubah secara dramatis.
Kota-kota besar dibangun dengan infrastruktur yang megah, teknologi melesat,
dan manusia mengklaim bahwa mereka telah melampaui naluri purba mereka.
Kehidupan bukan lagi sekadar tentang bertahan hidup, tetapi mengejar kemewahan,
kekuasaan, dan pengaruh. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi,
teknologi yang rumit, serta kemajuan medis dan ilmiah tampak membuktikan bahwa
manusia telah bertransformasi.
Namun,
apakah brutalitas benar-benar hilang? Justru, ia mengambil bentuk baru; keteraturan yang terlihat hanyalah permukaan dari kekacauan tersembunyi di
dalamnya. Brutalitas tidak lagi terlihat dalam pertarungan fisik antara individu,
tetapi melalui mekanisme yang jauh lebih halus, yaitu eksploitasi ekonomi,
ketidakadilan sosial, dan dominasi sistematis. Foucault, dalam Discipline
and Punish (1975), menunjukkan bagaimana kekuasaan modern tidak lagi
diterapkan secara fisik, tetapi melalui disiplin yang tak terlihat,
mengendalikan tubuh dan pikiran melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit,
dan penjara. Manusia diatur dan dikendalikan, bukan melalui kekerasan langsung,
tetapi melalui aturan yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari.
Eksploitasi
Ekonomi: Kapitalisme dan Ketidaksetaraan Sosial
Salah
satu bentuk brutalitas modern yang paling nyata adalah kesenjangan pada sektor ekonomi
yang diabadikan oleh sistem kapitalisme global. Sistem ini memungkinkan
sekelompok kecil orang untuk menguasai sumber daya yang luar biasa, sementara
mayoritas manusia bekerja keras hanya untuk bertahan hidup. Data dari Oxfam
menunjukkan bahwa pada 2023, 1% orang terkaya di dunia memiliki hampir dua
pertiga dari total kekayaan global. Ketimpangan ini menciptakan situasi yang
mirip dengan kondisi alami Hobbes, di mana ketegangan sosial terus meningkat
akibat ketidakadilan yang ekstrem.
Di
banyak kota besar, gentrifikasi proses pengambilalihan kawasan miskin oleh para
pemilik modal untuk dijadikan area komersial dan hunian mewah merupakan bentuk
eksploitasi yang tampak. Kaum miskin dipaksa untuk keluar dari wilayah mereka,
kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka. Eksploitasi ini
bukanlah pertarungan fisik secara langsung dan telanjang, tetapi dampaknya lebih
menghancurkan. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan ekonomi yang
terus berkembang terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakadilan.
Kekerasan
Tak Kasat Mata: Kesehatan Mental dan Alienasi
Selain
eksploitasi ekonomi, manusia modern juga dihadapkan pada kekerasan yang lebih
tersembunyi; yakni tekanan mental yang diakibatkan oleh tuntutan hidup modern.
Meningkatnya kasus depresi, kecemasan, dan bunuh diri adalah gejala dari
kehidupan yang tak terhubung secara emosional, di mana manusia merasa terasing
di tengah keramaian kota besar. Menurut laporan WHO (Organisasi Kesehatan
Dunia), lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi, sementara
angka bunuh diri terus meningkat, terutama di kalangan anak muda .
Kehidupan modern sering kali penuh dengan isolasi, meskipun manusia hidup di kota-kota yang padat. Budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi menyebabkan individu-individu merasa hampa dan kehilangan makna dalam hidup mereka. Mereka mungkin memiliki akses ke segala bentuk hiburan dan teknologi, tetapi ini hanyalah pelarian sementara dari kekosongan eksistensial yang terus menghantui nurani mereka sendiri.
Paradoks
Kemajuan: Perang dan Dominasi
Peradaban
modern juga terus memperlihatkan paradoks dalam bentuk perang dan konflik
global yang tak kunjung reda. Meskipun teknologi telah maju, perang dan
kekerasan tetap menjadi bagian integral dari politik global. Konflik bersenjata
seperti perang di Timur Tengah, krisis di Ukraina, dan berbagai konflik etnis
serta agama menunjukkan bahwa manusia masih berperang, tetapi dengan senjata
yang jauh lebih mematikan. Senjata nuklir dan teknologi drone menunjukkan bahwa
meskipun manusia mungkin tidak lagi menggunakan tombak dan belati, mereka
memiliki kemampuan untuk menghancurkan dunia dengan sekali tekan tombol.
Ini mengingatkan kita pada argumen yang diajukan oleh John Gray dalam bukunya Straw Dogs (2002), di mana ia menyatakan bahwa peradaban tidak pernah benar-benar menghapuskan kekerasan, tetapi hanya menyamarkannya di balik tirai kemajuan. Dalam dunia yang tampaknya lebih canggih dan teratur, perang, eksploitasi, dan brutalitas tetap menjadi komponen fundamental kehidupan manusia.
Dengan itu semua, manusia modern mungkin telah meninggalkan gua-gua mereka yang gelap dan penuh ancaman, tetapi mereka kini terjebak dalam labirin beton dan kaca yang mereka bangun sendiri. Labirin ini, yang dari luar tampak megah dan indah, sebenarnya menyembunyikan kebrutalan yang lebih halus tetapi lebih menghancurkan. Sistem ekonomi yang tidak adil, ketidaksetaraan sosial, eksploitasi sumber daya alam, serta tekanan mental akibat alienasi menjadi wujud baru dari kekerasan yang diciptakan oleh peradaban modern. Paradoks yang menghantui masyarakat modern ialah: bahwa di balik segala kemajuan yang diraih, manusia tetap berjuang, tidak hanya melawan sesamanya tetapi juga melawan diri mereka sendiri.
Komentar