Jangan Mati Kawan
Kawan,
hidup di pusaran abad ke-21 ini seakan membawa kita pada ruang batin yang penuh
dengan pertentangan; Di satu sisi, kita dihadapkan pada kesempatan-kesempatan
yang mungkin tak pernah ada sebelumnya; di sisi lain, ada arus deras yang
mencoba meruntuhkan nilai-nilai dasar yang kita genggam erat. Batu terjang itu,
yang datang tanpa jengah, tidak hanya mengetuk, tetapi seperti hendak
merubuhkan fondasi yang telah kita bangun nilai-nilai yang kita sepakati
sebagai hal yang tak boleh dikorbankan, termasuk prinsip "tak menghalalkan
segala cara, hanya untuk hidup!" Badai modernitas ini menghantam kita dari
segala arah. Di setiap waktu, kita dipaksa berhadapan dengan percepatan yang
seringkali tidak manusiawi, seolah ada perlombaan untuk siapa yang paling cepat
beradaptasi, siapa yang paling cepat menghasilkan, siapa yang paling cepat
mencapai “kesuksesan” menurut standar yang semakin kabur.
Pada
setiap perjumpaan dan pertukaran kabar kabar; kita berulang kali
menyaksikan betapa prinsip-prinsip hidup diuji oleh tekanan-tekanan yang
memaksa. Namun, di balik badai kekalutan itu, hasrat pada diri kita belumlah
padam. Hasrat untuk tetap berharap pada kemungkinan hari-hari depan, meski hari
depan itu pun penuh dengan janji kegelisahan. Mungkin di sinilah letak
tantangan terbesar: bagaimana mempertahankan hasrat yang jujur dan tulus, di
tengah dunia yang seringkali menawarkan jalan pintas, godaan pragmatisme, atau
bahkan dorongan untuk melupakan prinsip demi sebuah kemajuan palsu.
Laju
arus dunia ini memang berwajah seribu; kadang menyamar sebagai kemajuan, kadang
sebagai efisiensi, kadang sebagai tuntutan kehidupan sehari-hari. Setiap hari,
kita diperhadapkan pada wajah-wajah itu, menantang kita untuk beradaptasi.
Namun, adakah ruang untuk menyeimbangkan antara mengikuti arus dan tetap
memegang kendali? Di situlah kecamuk pikiran, kekalutan, dan perasaan menjadi
pertempuran yang seolah tiada habisnya. Meski begitu, badai tidak selalu
membawa kehancuran. Kadang, ia membentuk, membangun ulang, dan memperkuat apa
yang sebelumnya rapuh. Mungkin prinsip-prinsip yang selama ini kita pertahankan
bukanlah beban yang harus dijaga mati-matian dari terkikisnya zaman, tetapi
justru bisa menjadi jangkar yang lebih kuat ketika diuji oleh kekuatan luar.
Kegelisahan
terhadap hari depan mungkin adalah tanda bahwa kita masih terjaga, bahwa kita
masih hidup dalam perjuangan untuk mempertahankan kesejatian kita. Dalam dunia
yang terus berubah ini, apakah kita bisa tetap setia pada diri kita sendiri
tanpa merasa terasing dari kenyataan? Atau justru dalam proses mempertahankan
prinsip, kita menemukan cara baru untuk beradaptasi tanpa mengorbankan jati
diri kita? Tantangan kita bukan hanya bagaimana bertahan, tetapi bagaimana
berkembang di tengah ketidakpastian ini. Menghadapi percepatan arus dunia,
mungkin kita perlu menemukan cara untuk tidak sekadar "mengikuti",
tetapi menciptakan jalur kita sendiri; jalur yang memungkinkan kita untuk hidup
dengan prinsip tanpa kehilangan tempat dalam dunia yang terus berubah.
Komentar