Paradigma dan Heroisme Historis Dalam Berorganisasi
Secara umum dapat kita ketahui bahwa paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai sesuatu baik secara sektoral maupun global, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara–cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks. Menurut Thomas Khun paradigma cenderung merujuk kepada dunia pola pikir atau pun teknis penyelesaian masalah yang dilakukan oleh manusia melalui buku buatannya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution.Begitu pula dalam berorganisasi, tentunya paradigma merupakan salah satu hal yang sangat fundamental karena paradigma sendiri merupakan cara pandang yang mengintegrasi dan juga sebagai praksis yang mengikat baik secara struktural maupun kultural dalam berorganisasi.
Perlu kita sadari bahwa istilah paradigma dalam hal ini bukan merupakan cara pandang sebuah organisasi tetapi merupakan cara pandang orang-orang yang berada didalam sebuah organisasi yang telah disepakati bersama dan bersifat komprehensif untuk bagaimana kemudian menjadi acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dilingkungan sekitar bahkan dunia. Lahirnya paradigma-paradigma yang kemudian diusung menjadi praksis untuk menganalisis dan penyelesaian suatu permasalah dalam sebuah organisasi tidak lepas dari beberapa faktor yaitu faktor politik, ekonomi, dan agama baik dalam sekala regional, nasional maupun internasional. Hal tersebutlah yang menjadikan paradigma selalu mengalami dinamika dalam berorganisasi.
Tentu bukan hanya itu yang terjadi kepada paradigma dalam sebuah organisasi. Kesadaran penuh tentang paradigma itu sendiri yang telah disepakati secara bersama juga perlu di pahami bagi semua yang berada dibawah naungan organisai. Tidak jarang kita jumpai beberapa ataupun secara keseluruhan orang-orang yang berada dalam sebuah organisasi tidak dapat memahami secara sadar akan paradigma yang telah diusung, kemudian menjadikan paradigma hanya sebagai utopis dalam cara pandang berorganisasi. Hal yang demikian dapat menjadi anomali dalam sebuah organisasi.
Anomali tersebut jelas berdapak bagi gerakan, strategi dan taktik dalam berorganisasi karena lemahnya pemahaman akan cara pandang untuk menyelesaikan suatu permasalahan baik di internal maupun eksternal organisasi. Lemahnya pemahaman secara sadar akan paradigma yang diusung tadi menjadikan seseorang akan bersifat apatis, bahkan oportunis sehingga menjadi seorang yang individualis, keyakinan penuh bahawa sesorang dapat menyelesaikan suatu permaslahan dalam berorganisasi dengan caranya sendiri, sehingga mengabaikan kelompoknya. Menurut James D. Mooney
organisasi ialah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama, maka dari itu tidak dapat seseorang hanya menentukan jalannya sendiri dalam penyelesaian permasalahan dalam berorganisasi, bahwa kebersamaan haruslah menjadi suatu identitas kolektif sehingga membentuk suatu kesatuan yang teratur yang berlandaskan pada paradigma dan produk hukum atau aturan dalam organisasi.
Dalam hal ini paradigma juga dapat menjadi pondasi dari berbagai macam gerakan dalam berorganisasi, sehingga menciptakan gerakan yang sistematis dan massif. Gerakan yang demikian dapat terwujud apabila orang yang berada dalam sebuah organisasi dapat secara sadar memahami paradigma yang disepakati dan menjadikan paradigma tersebut sebagai pisau analisis utama yang dipergunakan. Proses pengkajian secara historis, filosofis, yuridis dan logistik juga perlu diperhitungkan dengan matang agar terwujud gerakan yang kompatibel dan tidak berhenti di tengah jalan. Beberapa gerakan yang sering kita temui dilapangan yaitu hanya mendapatkan heroisme sesaat karena disabotase ditengah jalan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka, begitulah yang dikatakan Nur Sayyid Santoso Kristeva atau yang kerap disapa “Bung Kris” dalam bukunya yang berjudulRisalah Perjuangan Merebut Pikiran dan Massa.
Dalam sebuah gerakan perlu adanya regenerasi. Artinya mampu mencetak para pembaharu yang yang mampu merepresentasikan gerakan-gerakan terdahulu dalam inovasi strategi dan taktik pergerakan. Dengan demikian kita mampu mengantarkan para pembaharu kepada titik yang lebih tinggi yang memiliki pandangan kedepan dan menyeluruh. Apabila transformasi nilai-nilai dari para pendahulu tidak dilakukan kepada para pembaharu tidak akan pernah ada legasi yang menjadi cermin gerakan dalam berorganisasi, inilah yang disebut “Heroisme Historis”. Dalam artian sebuah organisasi hanya memiliki satu catatan sejarah tentang heroiknya sebuah gerakan yang dilakukan oleh para pendahulu, namun catatan tersebut tidak pernah ditulis kembali atau dilanjutkan oleh para pembaharu dalam sebuah organisasi. Yang lebih fatal lagi apabila para pembaharu hanya cukup berdiam diri dengan membawa “Keheroikan” para pendahulu dengan berbagai pernyataan dengan seolah-olah hal tersebut adalah sebuah kebanggaan tersendiri dalam pencapaian sebuah gerakan yang pernah dilakukan, serta atas pernyataan latar belakang organisasi yang sama.
Apakah kita hanya mampu melakukan itu?, apa yang sudah kita lakukan untuk sebuah gerakan-gerakan dalam kegiatan berorganisasi?. Nampaknya kita perlu tahu dan sadar bahwa kebanggan itu harus kita dapatkan sendiri tanpa harus memikul kesana-kemari keheroikan masa lalu yang dilakukan oleh para pendahulu. Dengan begitu kita tidak hanya mampu menghimpun dengan penuh kebanggaan yang semu, namun sebuah pembuktian tentang gerakan-gerakan yang juga menemukan keheroikan.
Apabila generasi pembaharu menemui kegagalan dalam setiap gerakan, perlu kiranya untuk melakukan konsolidasi ulang tentang paradigma yang diusung dan disepakati secara bersama dengan maksut menganalisis anomali semacam tadi, sehingga semua orang dalam sebuah orgaganisasi dapat merefleksikannya dan mengimplementasikannya dalam kegiatan berorganisasi.
Komentar