Dalam Demokrasi Kampus, Pengemis Tiba-Tiba Menjadi Raja.

Pengemis adalah seseorang yang melakukan suatu pekerjaan dengan cara meminta- minta kepada orang lain demi memenuhi kebutuhannya, seperti membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal atau hal lainnya dari orang yang mereka temui dengan meminta. Mereka meminta-minta dengan mengharap belas kasih dari setiap orang yang mereka temui. Raut wajah lesuh dengan pakaian lusuh serta kondisi tubuh yang cacat, tetapi ada yang memang benar-benar cacat tapi juga ada yang tidak, serta peralatan mengemis seperti gayung, kaleng bekas, atau apapun yang dapat dijadikan tempat menyimpan uang yang telah di dapat, adalah ciri khas seorang pengemis.

Pada umumnya pengemis dapat kita jumpai di pinggir jalan raya, trotoar, jembatan, perempatan lampu merah, kawasan pusat perbelanjaan dan pasar tradisional serta keramaian kota lainnya. Selain itu pengemis musiman akan banyak berdatangan di waktu-waktu tertentu seperti pada waktu bulan Ramadhan dan menjelang hari raya.
Pengemis-pengemis tersebut mengemis bukan karena miskin secara ekonomi, tetapi ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu diantaranya adalah pertama, karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali untuk melakukan pekerjaan lain disebabkan cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan. Kedua, kehilangan rasa malu dan beban moril di depan masyarakat karena sudah merasa enak dan memiliki penghasilan besar dari mengemis. Ketiga, waktu dimana orang-orang banyak mengeluarkan sedekah seperti di bulan Ramadhan, menjelang hari raya Idul Fitri, dan tahun baru, menjadikan mereka merasa memiliki kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan. Keempat, mengemis karena miskin mental dan malas bekerja. Kelima, pengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, dengan dikoordinasi oleh seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis “anggota” setia menyetor hasil mengemisnya kepada sindikat, baik secara harian, mingguan atau bulanan.

Namun tidak demikian dengan pengemis yang ada di dunia akademisi tidak seperti apa yang telah dijelaskan diatas. Mereka tampak berpakaian rapi dan telah belajar banyak hal, mulai dari belajar berdasi, ber-jas, berkaos kaki, dan bersepatu. Selain itu, mereka juga mendapat pengetahuan matang mengenai retorika yang mereka gunakan sebagai alat untuk mengemis. Pengemis di dunia akademisi pun begitu, eksistensinya mulai dapat dirasakan ketika musim demokrasi kampus tiba. Gerakan mereka dapat dikatakan masif, karena mereka saling berkoalisi dengan para birokrat kampus. Manipulasi data, mobilisasi masa mereka kuasai. Diam-diam si pengemis menjadi lapisan borjuis yang dididik dan disulap menjadi kaum elite.

Maka, sebelum memilih si calon raja tadi harusnya diuji kapasitasnya, diuji integritasnya, lalu pertanyaannya "diuji dimana?", kemudian "siapa pengujinya?". Di uji di atas panggungpun tidak mungkin, karena yang diucapkan di atas panggung adala sandiwara yang penuh kebohongan, supaya ia mendapatkan suara. Di uji oleh orang jujur tidak mungkin, hari ini orang jujurpun tak bisa di percaya, bila kepercayaan, dan kata-katanya sudah dinominalkan. Bertanya setelah kampanyepun tidak mungkin karena setelah kampanye musik dangdut mulai ramai bergema. Pada saat ini kami tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan. Karena ketika kami memilih seseorang pengemis untuk di jadikan raja, kami merasa cemas karena takut ketika kami menitipkan suara kami, suara kami diperjualbelikan. Perlu di ketahui menjadi raja itu tidaklah sakral, raja itu bukan titisan Tuhan yang dianggap bahwa kepala raja tidak akan putus dari badannya, bahkan kekuasaanya karena ia adalah titisan Tuhan. Oleh sebab itu Demokrasi di kampus kita tak pernah mengalami revolusi dan seharusnya hal ini yang kita terapkan (kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan) yang sesuai dengan pancasila.

Sampai kapankah demokrasi di kampus kita ini dikebiri oleh kepentingan pribadi,? Saling sikut kanan-kiri, tak peduli sahabat bahkan saudara sendiri, yang terpenting bisa menang, bisa senang. Selanjutnya tinggal bagi-bagi kursi dan jabatan. Perdebatanpun tak mungkin terelakkan hingga berakhir pada sindiran di media sosial, menuntut untuk mendapat pembenaran diri sendiri. Ah, memalukan!.

Bersainglah secara sehat, tak perlu ugal-ugalan, dan tetap berlaku jujur. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Kota, Aku Terbakar Sendirian

Dengarlah

Berkunjung Kerumah Iyung