Antara Benar Yang Disalahkan dan Salah Yang Dibenarkan

Inilah aku dengan seribu luka yang membelenggu, dengan hati yang penuh memar akibat hantaman kata-kata kasar. Aku tak tahu apakah yang aku lakukan sebuah kebenaran dalam hal ini, ataukah ia yang selalu benar, aku tak tahu!. Namun aku tahu pada Tuhan “kebenaran” itu bertahta.

Namun kini aku mulai tahu akan ketidaktahuanku, akan idealismeku yang harusnya aku pertahankan, karena prinsip bagiku adalah hal yang kupertahankan setelah kehormatan. Dari sini akan aku critakan secuil anekdot dari sekenario Tuhan yang begitu indah, yang Tuhan tuangkan dalam sebuah prosesku mencari kehidupan, karena bagi diriku, aku dapat merasakan kehidupan jika aku pun dapat mengenali hidupku, diriku, dan Tuhanku.

Berawal dari hujatan, cemo’ohan, hingga sindiran, bahkan tuduhan. Itu semua aku dapatkan setelah aku mengerti tentang arti kebusukan, busuk bau sampah organisasi, busuk bau dalil militansi, busuk bau dengus nafas politisi, hingga buta akan makna Demokrasi sendiri.

Hidupku penuh dengan goresan-goresan diskriminasi, persekusi, hingga di khianati. Aku tak risau sedikitpun dengan keadaan menyenangkan itu, bagiku ini sebuah pertanyan dati Tuhan untukku, “apakah kau tetap mau melangakh di jalanku (kebenaran) Atau berhenti dan menjadi pecundang? “. Hal itu yang semakin memacuku untuk terus bertahan pada perinsipku, bahwa kebenaran itu seruhan Tuhan, dan ketakutan itu harus dilawan. Hingga Tuhan pun berkata “kau harus siap di caci, di maki dan di diskriminasi, karena keburukan akan ikut tumbuh menyertai kebaikan, sampai kapanpun itu“. Tak masalah bagiku, karena bagiku Tuhan sedang coba menggodaku, dan aku tahu apa yang harus aku lakukan, bangkit dan melawan.

Ketika aku memilih untuk bangkit melawan, perlahan tikaman benda tajam tak kasat mata itu pun menggores bagian lembut dari organ tubuhku, ” apa yang kamu lakukan itu salah, jangan Memprovokasi orang untuk mengikuti maumu”, aku tidak paham apa yang sebenarnya ada di fikiran mereka itu, mungkin dangkal bahkan secuil, dengan kesukaanya menyalahkan orang lain. Lalu ku sebut mereka pencipta baru yang dapat dengan mudah menimbang, dan menilai benar dan salahku.

Aku pun tak mengerti aku yang seperti ini, mengapa selalu salah di mata mereka, bukankah sebenarnya aku paham akan godaan Tuhan tadi? , lalu apa yang aku takutkan lagi sebenarnya. Bukankah semua manusia itu sama, dan yang membedakannya hanyalah “taqwanya”. Dan aku simpulkan bahwa Hina di mata manusia tak apa, asal Mulia di sisi Tuhan. Karena Tuhan maha melihat, Ia tahu mana yang benar dan mana yang berkedok baik namun licik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Kota, Aku Terbakar Sendirian

Dengarlah

Berkunjung Kerumah Iyung