Antara Demagog & Turbulensi Kesadaran dalam Organ Mahasiswa
Sepintas, kuliah agaknya menjadi momen yang paling menyenangkan dalam kehidupan seseorang, begitupun anggapan saya. Masa-masa menjadi mahasiswa menawarkan pengalaman baru dan kebebasan yang tidak didapatkan semasa duduk di bangku sekolah. Adagium semacam ini mungkin menjadi parameter awal pemikiran sseeorang yang hendak memasuki institusi Pendidikan tinggi, atau pemahaman “kebanyakan” seseorang akan lingkungan institusi Pendidikan tinggi yang mereka dapatkan dari indoktrinasi FTV dan sebenarnya berbeda sama sekali dengan realitas yang ada pada dunia Pendidikan tinggi. Seseorang yang demikian akan menegerti bagaimana keaadan yang sebenar-benarnya di dalam lingkungan Pendidikan tinggi, setelah mereka memasukinya; dihadapkan pada realitas yang perlahan-lahan menghantam imajinasiya, pilihan-pilihan yang bukan berdasar atas kehendaknya, pun lingkungan yang lebih kejam dari hutan belantara, serta “spesies” buas yang menghuninya, bahkkan lebih buas dari binatang buas yang kita kenal sebelumya.
Saya akan memulainya dengan
simposium realitas sosial di dalam institusi perguruan tinggi yang turut serta membangun
keraangka berfikir saya semasa kuliah, serta sebagai instrumen dalam meneropong
bangunan sosial yang ada di dalamnya. Pertama, saya kerap menyaksikan
seoraang mahasiswa di kerangkeng kesadaran berfikirnya, menjadi idiot karena
selalu dikendalikan oleh benang-benang kekuasaan yang tak kasat mata, mengatur
mereka sebagai boneka; ihwal apa yang boleh dan tidak boleh, baik dan tidak
baik untuk dilakukan, normalisasi atas fikiran dan tindakan yang seolah sebagai
seorang mahasiswa dan lebih dalam lagi adalah manusia, mereka tidak mampu
memahami dasar kebutuhannya sendiri. Selanjutnya, atas “representasi nama”,
kekuasaan lebih memiliki otorits terhadap seorang mahasiswa melebihi diri
mereka sendiri. Tentu ini ironi yang saya rasakan di dalam lingkungan institusi
Pendidikan perguruan tinggi yang berlabel “platform akademis”, dan yang
seharusnya lebih mendekatkan mahasiswa pada kesadaran berfikir dan bersikap;
bahwa yang utama bagi mereka adalah memegang penuh otoritas atas tubuh beserta
akal-fikirannya.
Kedua, seiring berjalanya
waktu, saya juga dapat mengamati praktik-praktik manusia menjijikan pada tubuh
Organisasi Mahasiswa; gelora kepalsuan yang di khotbahkan berulang-ulang,
serupa sihir dengan mantra-mantra “karier politik” yang cemerlang di kemudian
hari. Juga, transmisi kesadaran yang secara permanen ditanamkan di kepala
mahasiswa; bahwa mereka adalah ternak-ternak kekuasaan yang siap digembalakan, diperah
dan dihisap, yang selanjutnya diolah menjadi komoditas utama dalam konstelasi
politik kampus. Tak jarang pula dapat saya jumpai senioritas-senioritas yang
menjadi penyakit akut stadium akhir di dalam tubuh Organisasi Mahasiswa; mereka
serupa mesianik sang “penggembala sekaligus juru selamat” yang ditugaskan untuk
menyadarkan sekaligus memimpin. Orang-orang tersebut seperti wayang yang
menjadi dalang atas wayang yang lain, menjijikkan.!.Lebih menjijikkan lagi
ketika seorang mahasiswa “merasa cukup bangga” dengan banyak melakuan hal bodoh
karena intruksi yang didasarkan pada sikap “patuh” terhadap hierarki kekuasaan
tanpa disertai landasan ataupun alasan yang logis sedikitpun dan seketika
menjadi pemuja kekuasaan, serta dengan ilusi tentang transformasi sosial yang
dapat diwujudkan melalui kepemimpinan di dalam Organisasi Mahasiswa, dengan
harapan dapat mencapai keadaan yang lebih baik. Dengan demikian, saya
mengumpulkan lebih dari cukup bukti untuk membuktiikan bahwa harapan tentang transformasi
sosial adalah omong kosong, karena yang mereka hendaaki hanyalah pemenuhan atas
hasrat-hasrat dan obsesi elite Organisasi Mahasiswa belaka.
Friedrich
W. Nietzsche, berpendapat bahwa; manusia-manusia yang haus kekuasaan inilah
yang membuat politik menjadi kotor seperti lumpur yang tak dapat dibersihkan
(Nietzsche, 1883:105). Bagi Nietzsche, politik pada awal mulanya murni dari
kenajisan-kenajisan semacam itu. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman,
semakin berkembang pula keinginan manusia. Sehingga, sering kali kekuasaan
politik dijadikan alat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Maka, dengan
cara itulah kekuasaan menjadi semakin menarik di mata manusia.
Dalam karya
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (1883), Nietzsche mencaci para pemuja
kekuasaan tersebut dengan keras:
Lihat, mereka yang berlebihan itu! Kekayaan mereka dapatkan, tapi justru mereka semakin miskin. Kekuasaan yang mereka cari, dan yang terutama mereka cari adalah tuas kekuasaan, uang dalam jumlah yang banyak – ya, mereka yang impoten ini … Lihat, mereka memanjat, kera-kera yang lincah ini! Mereka memanjat dan menginjak-injak satu sama lain, dan bertengkar sampai ke dalam lumpur kotor dan jurang tak berdasar …Mereka semua berlomba merengkuh singgasana: itulah kegilaan mereka – seolah sang kebahagiaan duduk di atas singgasana! Yang sering kali duduk di atas singgasana adalah kotoran – dan sering kali pula singgasana duduk di atas kotoran … Orang gila, demikian tampaknya mereka bagiku, seperti kera-kera yang sedang memanjat dengan terlalu bernafsu. Bau busuk dari berhala mereka itu bagiku, yaitu sang monster dingin: bau busuk dari mereka semua itu bagiku, para pengikut dan pemuja berhala ini. (Nietzsche, 1883:105).
Kegilaan-kegialan
demikian semakin dianggap normal dan menjadi ritus di dalam Organisasi Mahasiswa
tersebut. Jauh lebih kronis, kenyataan bahwa orang-orang di dalam organisasi
ini selalu menggantungkan frustasinya pada ketidakmampuan dalam mencapai
kekuasaan itu sendiri. Tentu saya menyadari, bahwa setiap Organisasi Mahasiswa
yang ada itu baik adanya; apabila orang-orang di dalamnya “patuh” bukan
terhadap sesama manusia, tetapi pada nilai-nilai kebajikan yang mendasarinya.
Suatu
hasrat yang membabi buta, yang diterjemahkan dalam sikap-sikap ketamakan, kerakusan
orang-orang di dalam Organisasi Mahasiswa tadi kemudian turut serta
menghantarkan saya kepada “pengetahuan” ihwal sejatinya diri mereka sendiri.
Dalam upaya menjelaskan keadaan yang demikian, saya senada dengan apa yang
disampaikan oleh Nietzsche;
“Kalian telah berubah dari cacing menjadi
manusia, tapi banyak dalam diri kalian yang masih seekor cacing. Dulu kalian
adalah kera dan sekarang pun manusia lebih kera dari kera manapun. (Nietzsche,
dalam Also Sprach Zarathustra, hlm. 8)”.
Binatang
Berakal dan Binatang
Terdapat
dua sosiologi yang secara mendasar membedakan antara organisasi sosial manusia
dan organisasi sosial makhluk-makhluk lainya, yang dalam hal ini dimaksudkan
untuk menijau suatu budaya di dalam tubuh Organisasi Mahasiswa; yakni (1)
sosiologi species bukan-manusia (sociology of nonhuman species),
yang merupakan sub-bagian dari biologi; dan (2) sosiologi manusia (sociology
of human beings), yang merupakan sub-bagian dari ilmu kebudayaan (culturology),
karena ia merupakan fungsi dari suprabiologikal eksternal, yaitu tradisi
supraorganik yang disebut kebudayaan. Binatang berakal (manusia) sangat jauh
berbeda dari binatang, meski keduanya sama-sama memiliki otak, tapi tidak semua
otak dbekali kemampuan untuk “berfikir”. Implikasi dari kepemilikan
akal inilah yang menjadi alasan mendasar perbedaan dintara keduanya, serta
dapat pula di amati di dalam struktur pengetahuan binatang berakal tadi
memiliki ciri yang progressive dan accumulative. Sedangkan
binatang juga memiliki pengetahuan dan konsepsi; tetapi tingkah laku mereka
bukan suatu produk kebudayaan karena organisasi sosial species mereka
ditentukan secara biologis, organisasi sosial mereka merupakan suatu fungsi
dari struktur tubuhnya, fungsi dari komposisi genetiknya, serta karakteristik
tingkah laku binatang semata-mata berbasis nature (alam) atau instinct
(naluri), sedangkan kegiatan manusia berdasarkan akal, perasaan dan hatinya
yang membentuk culture (budaya-kebudayaan).
Apabila
masing-masing dari kita dapat merefleksikan kembali terkait senioritas yang
telah dipaparkan di atas, hal itu juga merupakan salah satu produk berupa
budaya yang berkembang di dalam suatu Organisasi Mahasiswa yang termasuk dalam
bagian organisasi sosial manusia, serta melalui proses pengamatan atas fenomena
budaya yang ada tadi, telah melahirkan suatu istrumen untuk mendikte pola hidup
dan perilaku manusia yang “khas” di dalamnya melalui legacy; superioritas
dan inferioritas antar sesama manusia yang di rawat dari generasi ke generasi
melalui mekanisme produksi dan reproduksi sosial. Masalah utama dari
bertumbuhkembangnya superioritas ialah membuka potensi yang lebih luas atas
kontrol terhadap fikiran dan tindakan orang lain, meskipun sebenarnya setiap binatang berakal (manusia) dapat mendayagunakan karunia akalnya untuk lepas atau bahkan menepis kehendak orang lain utuk menguasai, mengekang akal dan tubuh manusia. Tentu hal ini menjadi alasan mendasar yang membedakannya dengan binatang, yang tidak diberikan karunia akal sehingga tidak mampu memproduksi suatu pengetahuan yang terstruktur, akumulatif, progresif dan kompleks. Apabila binatang berakal tidak memiliki ciri mendasar yang menjadi garis pembeda dengan binatang, maka mereka sama sekali tidak ada bedanya. Tak jarang pula dapat saya
temukan intensifikasi yang dilakukan oleh “oknum” di dalam Organisasi Mahasiswa;
mengumbar fakta rekuperasi akut atas semua metode dan ide-ide tentang kehidupan
alternatif di dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan sektor-sektor
“strategis” yang dilanggengkan atas dasar kepemimpinan berkelanjutan. Saya
cukup sering mendengar hal semacam itu di ulang-ulang oleh para aktor yang
membaptis dirinya sebagai “perwakilan mahasiswa” dan yang terjadi adalah
tranformasi tindakan yang bukan sekedar taktik, tetapi ritus-ritus yang harus
dilestarikan dari generasi ke generasi
Ketiga,
yang merupakan objek pengamatan saya di dalam tubuh Organisasi Mahasiswa tadi
ialah ihwal diskursus yang berkembang hingga hari ini, yang tidak mampu keluar
dari kedangkalan spesialisasi akademik, eksklusivisme yang hanya terjebak pada
glorifikasi fakta-fakta, tanpa mampu melihatnya sebagai suatu kausalitas yang
holistik. Suatu paradigma yang gagal melihat secara utuh dan mendasar dari
semua detail kehidupan, sehingga terjebak di dalam separasi akut. Masing-masing
dari mereka mendapatkan peran sementara dalam sebuah kepasifan umum sebelum
mendapatkan peran utama dalam kepasifan total yang akan mendukung keuntungan elite
Organisasi Mahasiswa. Masing-masing dari mereka diceraikan dari kenyataan
sejarah, sosial dan individu yang membuat diri mereka sendiri tersalib di
antara status sosial hari ini dan status sosial masa depan yang tak pasti. Hal
semacam ini merupakan ketidakmampuan mereka merebut kendali atas kehidupan itu
sendiri. Hal ini terbukti dari perayaan-perayaan yang glamor dan
menonjolkan masa muda dengan berbagai label yang pada hakikatnya tidak juga
merusak atau mempengaruhi apapun selain keterjebakan yang semakin dalam sebagai
fundamentalis penyokong berjalannya system yang diciptakan elite
Organisasi Mahasiswa. Dengan utopi-utopi naif seperti “penerus bangsa”,
“agen perubahan”, “pewaris peradaban”, menunjukkan bahwa dibalik
pembangkangan-pembangkangan palsu yang dilakukan, sebenarnya mereka tak lebih
seperti tokoh protagonis dalam sinetron murahan yang justru akan mengeluh
ketika mereka tak lagi dilecehkan oleh sistem. Kebanggaan mereka adalah
perencanaan yang nyata-nyata dilakukan oleh sistem dan elite Organisasi
Mahasiswa di atas mereka, namun dengan penuh kedangkalan mereka justru
menunjuk-nunjuk ornamen-ornamen yang tidak esensial. Hasrat perubahan
mereka adalah keinginan komoditi sebagai hasil yang konstruksikan oleh sistem dan
kehidupan mereka yang miris ini adalah miniatur dari berbagai kemirisan yang
dialami masyarakat hari ini dalam setiap aspek kehidupannya.
Elite
Organisasi Mahasiswa, merekalah yang harus bertanggung jawab atas segala
patologi-patologi yang ada didalam lingkungan sosialnya, karena merekalah yang
menciptakan segala keidupan yang serba hirarkis, dominatif dan koersif, karena
hampir semua alternatif di luar apa yang diajarkan kepada mahasiswa;
nilai-nilai, moral kebajikan, norma-norma telah dibakar habis. Mereka
berharap tidak ada ruang sekecil apa pun bagi setiap mahasiswa untuk dapat
menemukan ruang hidup yang lebih egaliter, horizontal serta bebas dominasi dan
kontrol. Masing-masing dari kita haruslah tetap memiliki keyakinan, bahwa bukan
berarti tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan yang akan terbuka tabirnya.
Apabila keyakinan mendasar semacam itu telah hilang dari kita, maka kita
sebenarnya telah menggali lubang kuburan kita sendiri; kematian akan hasrat
hidup sebagaai manusia, harapan hari depan sejahtera, transformasi sosial
menuju keadaan yang lebih baik, hanyalah utopia.
Apabila mereka (mahasiswa) menganggap
fenomena semacam ini sebagai sesuatu yang dangkal dan tidak substansial, maka
hal itu membenarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah dikebiri
sehingga kesadarannya lumpuh total dalam dominasi sistem "elite Organisasi
Mahasiswa". Persoalannya, karena kehidupan itu menyangkut hidup
masing-masing orang dan tidak bisa diwakilkan kepada siapa pun, itu sebabnya
setiap orang seharusnya membawahi dirinya sendiri.
Perjuangan
menghidupi hidup haruslah melampaui batasan-batasan didalamnya; ketidakmampuan,
ketidakberdayaan melawan realitas hidup. Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya
“Anak Semua Bangsa” menyampaikan bahwa;
“Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan
bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.”.
Oleh sebab itu, masig-masing dari kita harusnya tidak berhenti pada apapun yang menghadang gerak langkah kehidupan, lebih-lebih yang datang dari sesama manusia. Bahwa yang mengantarkan kita pada suatu bentuk kesadaran yang demkian ialah latihan-latihan menghadapi realitas, karena setiap bentuk pengetahuan soal hidup tidaklah datang dan jatuh begitu saja dari langit. Daya kritis akal dan ketajaman pengalaman yang terintegrasi dengan baik lah yang berkontribusi besar dalam upaya menyusun bentuk-bentuk penyikapan terhadap hidup.
Komentar