Belajar Dari Master Sun Tzu
Dalam dekade 5 bulan terakhir selama masa
pandemi Covid-19 ini, saya banyak merekam jejak pergulatan kawan mahasiswa
dalam memperjuangkan haknya. Perlawanan demi perlawanan oleh kawan mahasiswa
yang merasa resah terhadap adanya kebijakan ngehek yang dikeluarkan oleh
birokrasi kampus ini, nampaknya mengalami banyak kekalahan ; kegagalan dalam mengawal
kepentingan mahasiswa. Setidaknya kita dapat melihat hampir semua perjuangan kawan
mahasiswa untuk meminta hak di kampusnya, kalau saja dirasa berhasil, itupun
tidak akan bertahan lama dan menjadi terkucil. Dari adanya hal semacam itu
harusnya kita dapat bertanya, dengan apa segenap perlawan-perlawanan yang
dibangun oleh mahasiswa dapat ditumpas,? kemudian dengan apa pula
gerakan-gerakan tersebut mampu meraih kemenangan?.
Dalam sejarah kita sendiri, perjuangan
perlawanan mahasiswa dikampus banyak mengalami penggembosan, baik dari dalam
internal pelaku gerakan perlawanan maupun dari luar barisan gerakan perlawanan.
Hal semacam itu menjadi salah satu faktor dari beberapa faktor yang dapat
menyebabkan kekalahan dalam sebuah perlawanan, pun juga dapat menjadi sebuah
faktor kemenangan dalam sebuah perlawanan, diantaranya seperti perbedaan latar
sejarah, kebudayaan, momentum, geopolitik dan masih banyak yang lainnya, namun
yang sangat jelas terlihat bahwa hampir dari seluruh perjuangan mahasiswa
ditumpas oleh kekuatan bersenjata, dan hampir semua gerakan perlawanan mahasiswa
dimenangkan pula lewat perjuangan bersenjata. Bersenjata yang saya maksud
disini ialah komplementer data-data yang menjadi instrumen dalam memenangkan
sebuah perjuangan perlawanan, karena dapat kita ketahui bahwa kebanyakan pelaku
gerakan perlawanan dikampus kita minim persiapan mulai dari hal-hal yang
bersifat material seperti data, maupun hal-hal yang bersifat imaterial seperti
mental dan gagasan. Dalam hal ini kurangnya data yang dimiliki, serta pengolahan
data yang kurang matang dan selanjutnya yang akan menyebabkaban gerakan perlawanan
mengalami disorientasi.
Semua itu tidak lepas dari manajemen gerakan
yang dibangun, mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data hingga
dirasa matang dan implementasi gerakan yang sudah direncanakan dilapangan,
sehingga gerakan perlawanan yang dilakukan mahasiswa tidak mengalami
kesenjangan dalam persoalan data, dalam artian tidak ada jarak antara data yang
dimiliki , harapan yang ingin dicapai dan realitas. Belum lagi persoalan mentalitas
dan kecakapan serta gagasan-gagasan yang cukup, dalam artian konsisten dalam
komitmen yang dibangun, memahami peta konsep gerakan yang dibangun, berani
dalam tindakan juga merupakan instrumen
penting yang perlu di implan dalam kepala
pelaku gerakan perlawanan, sehingga gerakan yang dibangun tadi dapat dilakukan
secara masif dan kolektif melalui
penanaman kesadaran kepada diri setiap individu.
Saya ingat setelah saya membaca buku karangan
Master Sun Tzu yang berjudul Art Of War (Seni Berperang) dan saya
menemukan kalimat-kalimat penting didalamnya yang kemudian harusnya dapat kita
(pelaku gerakan perlawanan) jadikan
bahan refleksi atas gerakan yang kita lakukan, setidaknya ada 13 kalimat
penting didalamnya. Diantaranya ialah : “Oleh karena itu, jika anda megenal
musuh dan mengenal diri sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan
peperangan. Apabila anda mengenal diri sendiri namun tidak mengenal musuh anda,
dalam setiap kemenangan yang anda dapatkan anda juga akan menderita kekalahan.”
melalui kalimat tersebut, Master Sun Tzu memberi pesan terhadap kita akan
pentingnya memahami kapasitas dan kemampuan diri kita sendiri, juga memahami
kapasitas dan kemampuan milik lawan, sehingga kita dapat mempertimbangkan
momentum dan peluang yang kita hadapi dalam gerakan yang kita bangun.
Kita banyak membaca kisah-kisah perlawanan
yang dilakukan diberbagai penjuru dunia, kita lihat salah satu diantaranya yaitu
gerakan yang dibangun oleh Che Guevara dan Fidel Castro dalam menumbangkan
rezim diktator Kuba yang didukung oleh Amerika Serikat (AS). Kita tidak tahu
persis apakah keduanya berguru pada master Sun Tzu atau tidak, namun dalam
strataknya mereka secara tidak langsung
mengaplikasikan ajaran master Sun Tzu dalam gerakannya.
Fidel dan Che memilih peperangan gerilya dengan metode hit and run, karena menyadari terbatasnya
jumlah pasukan serta persenjataan. Lantas apa yang terlebih dahulu dilakukan Che dan Fidel sebelum mengambil sikap,? Tentu saja mereka mengukur
peluang, mengirim mata-mata, menanyakan informasi kepada warga lokal, mengumpulkan
informasi dari banyak media dan sebagainya untuk mengetahui kekuatan lawan. Che dan Fidel bisa dibilang
realistis, mau mempelajari lawan mereka dan sekaligus belajar dari mereka untuk
mengambil strategi serta taktik yang tepat.
“Maka seperti itulah dalam perang, ahli strategi yang akan
menang mencari pertarungan setelah kemenangan telah dimenangkan terlebih
dahulu, sedangkan ia yang kalah dalam pertarungan akan mencari kemenangan
setelahnya,” Kutip master Sun Tzu,
buku (Art Of War).
Master Sun mengajak kita mempertimbangkan
perencanaan dengan sangat matang sehingga tidak perlu mengorbankan banyak
sumber daya. Hal ini sesuai dengan prinsip Che dan Fidel, bahwa bertahan hidup lebih penting
ketimbang aksi-aksi heroik, sebab kematian yang sia-sia hanya akan mempersulit
keadaan kala itu. Dengan berkoordinasi dan bekerja sama, korban lebih minim,
pasukan bertambah pengalaman dan pertempuran akan mudah dimenangkan. Layaknya
yang dikatakan oleh Kambei Shimada dalam film Seven Samurai (1954)
“Dengan melindungi satu sama lain, engkau menyelamatkan dirimu sendiri.”
Dari sini ada satu hal yang tak kita temukan
dalam gerakan pemberontakan mana pun juga. Konon, setelah pertempuran usai,
setiap individual atau unit, bahkan para komandan yang telah beraksi hari itu
wajib melaporkan dan mengevaluasi setiap aksinya lewat suatu sesi yang
dinamakan sesi kritik dan kritik diri. Melalui sesi ini, mereka senantiasa
mampu menganalisis kelebihan dan kelemahan mereka dalam setiap operasi. Maka
bagi mereka secara tidak langsung setiap pertempuran bagaikan suatu eksperimen.
Karena setiap strategi dan taktik selalu diuji kemutakhirannya. Sehingga dapat
selalu diperbaharui dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Tampaknya meski
gatal-gatal digigit nyamuk hutan, luka-luka terkena material pecahan bom dan
sangat kelelahan, melalui organisasi yang disiplin itu mereka tidak melupakan metode Marxisme. Selain itu,
mereka juga menerapkan sekaligus berhasil membuktikan apa yang telah diajarkan
Master Sun ribuan tahun yang lalu. ajaran Sun Tzu membuka mata kita bahwa
kedisplinan dalam belajar, kematangan dalam berencana, dan kemampuan
beradaptasi adalah kunci keberhasilan dalam sebuah pertarungan. Pertarungan
disini bisa dalam hal pertarungan pembuktian kebenaran maupun pembuktian
kekuatan.
Hal ini perlu kiranya kita fikirkan dengan
matang berdasarkan kata-kata yang saya kutip dari mater Sun Tzu diatas,
bahwasanya kita harus banyak belajar untuk memahami kekuatan kita, serta
kekuatan lawan dan mempertimbangkan
momentum, peluang dan kelemahan dari gerakan perlawanan yang hendak kita
bangun, juga mengevaluasi gerakan-gerakan yang telah kita lakukan.
Besar kiranya harapan saya agar kita terus
belajar, dan dapat membaca sejarah serta mengambil hal-hal penting dalam
sejarah yang kita baca, terutama soal gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
generasi terdahulu, yang linier untuk kemudian kita aplikasikan dalam gerakan
yang coba kita bangun. Ada kalimat yang sering saya dengar kemudian saya
renungkan, kalimat yang sering diucapkan oleh sahabat-sahabat saya di PMII
Rayon Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora, “Jika dengan tidak membaca buku anda semakin pintar, maka
berhentilah membaca buku!”. Mungkin kalimat tersebut juga dapat memberi ruang
diri kita untuk muhasabah diri atau melakukan refleksi terhadap pentingnya
membaca, utamanya sejarah.
Komentar