Potret Pendidikan di Kampusku
Kampus kini kehilangan maknanya sebagai wahana pengembangan wawasan, bagi semua penghuni yang ada didalamnya serta segala otoritas yang bersinggungan dengan eksistasinya. Kemudian dalam kehidupan yang pernah saya alami dalam hiruk-pikuk dunia akademisi, tentu ini mengingatkan saya kembali pada ekspetasi yang berlebih tentang bagaimana dunia akdemisi. Bahwa ketika saya masuk kedalamnya, saya akan ditempah sedemikian rupa dan bangku-bangku diruang kelas itu akan mengembangkan wawasan saya, sehingga saya dapat menekuni disiplin ilmu pengetahuan yang saat ini saya geluti. Namun sering saya rasakan ruang-ruang kelas itu lebih mirip kerangkeng-kerangkeng, tidak jarang menutup paksa pintu cakrawala dan menjegal wawasan dengan membatasi ruang diskusi, bangku-bangku memaku tubuh mahasiswa hingga mereka tidak mampu bergerak, menggelengpun begitu susah, juga sering saya jumpai bahwa dosenpun lebih mirip sipir penjara : marah jika dikritik, menolak ketika ada usulan, membentak jika ada kesalahan.
Kita mahasiswa patut cemas atas keadaan pendidikan yang semacam ini. Banyak kita jumpai tugas-tugas kuliah di sesakkan ke otak-otak mahasiswa seolah pendidikan di kampus bagi mahasiswa tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan, memacu kesadaran untuk maju dengan pengembangan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman dan hukuman, terlebih masalah IPK yang bagi sebagian mahasiswa menjadi momok yang menakutkan. Kampus kini dirasa tidak menarik lagi karena mulai pudarnya hasrat akan etos kesepemahaman, ekspresi diri, dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan menjadi kebingungan hingga kenyamanan dalam belajar tidak lagi ditemukan.
Sempat saya bertanya dalam keadaan yang sedemikian rupa, "Apakah kampus memiliki kecemasan yang juga sama dengan apa yang saya rasakan tentang masa depan pendidikan,?" dengan melihat begitu banyak persoalan pendidikan yang sangat menyakitkan dan begitu menyedihkan. Nampaknya pola pendidikan yang terkesan konservatif juga perlu dihilangkan. Betapa tidak, menyoal apa yang sering saya saksikan di kelas-kelas, begitu banyak dosen yang berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang lapang yang membangun komunikasi interaktif sehingga mematikan dialektika dikalangan mahasiswa.
Menurut saya, realitas yang demikian adalah akibat dari pola-pola pengajaran terhadap mahasiswa yang "tidak tuntas! ". Melihat teknologi yang berkembang diluar begitu maju, maka kampus seharusnya menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat menjadi sarana pendukung belajar bagi mahasiswa, dosen mengajarkan mengembangkan pengetahuan mahasiswa tentang hal baru yang menyangkut teknologi dan ilmu pengetahuan. Sayangnya, kemungkinan implikasi dari teknologi serta membuka wawasan yang luas atas pengetahuan-pengetahuan baru begitu jarang diajarakan apalagi didiskusikan. Mahasiswa diperkenalkan dengan pengetahuan baru tentang teknologi, dapat digunakan untuk mencari referensi untuk dicantumkan dalam power point sebagai bahan presentasi, kemudian dosen tanpa pernah sekalipun mengamati bagaimana proses analisa atas apa yang didapat oleh mahasiswa, kecenderungan soal mindah-memindahkan data kini menjadi suatu kemahiran yang mungkin bagi dosen ini bukan menjadi permasalahan, asal permasalah dapat terselesaikan, cepat lulus dan nilai mahasiswa memuaskan. Persoalan tentang kemampuan-kemampuan mahasiswa yang harusnya dikembangkan bahkan sering dilupakan.
Nampaknya saya rasa perlu adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa diruang-ruang kelas terhadap proses pendidikan yang berlangsung, menciptakan ruang dialektika, bertukar gagasan hingga tidak ada batasan dalam argumentasi sebelum menemukan solusi. Realitas teknologi dan pengetahuan-pengetahuan baru adalah hamparan luas dihadapan para mahasiswa, jawaban-jawaban atas problem teknis kehidupan dunia kemahasiswaan telah tersedia dimana-mana : mulai dari sarana transportasi yang kian cepat untuk mengatasi jarak, komunikasi dapat lebih mudah dengan adanya piranti komunikasi berbasis teknologi, dan wacana-wacana pengetahuan yang begitu praktis tersedia di dunia maya. Kemudian, apabila jawaban sudah tersedia, apa lagi yang perlu dipertanyakan? Tentu saja bukan pragmatisme terhadap kebutuhan, tetapi pola pikir kritis agar tindakan menjadi proporsional dan tidak saling merugikan. Karenanya pendidikan harus dilakukan secara sadar, tidak sekedar "mengajarkan apa yang ada," tetapi justru menanyakan "kenapa semua itu ada."
Saya mengharapkan pihak kampus dapat melakukan pembahasan ulang mengenai lanskap pendidikan yang ada dan diulas secara tuntas, sehingga areanya terbukti tidak sekadar hubungan antara dosen dan mahasiswa belaka seperti yang selama ini dipahami otoritas-otoritas pendidikan, karena saya merasa cukup khawatir apabila penyempitan semacam itu semakin menyudutkan mahasiswa sehingga mahasiswa semakin merasa terasing dari lingkungan yang mestinya menjadikannya dewasa.
Komentar