Elite Politik Bodongan Kampus
Dalam sirkulasi elite, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun
antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elite menurut Pareto terjadi dalam dua kategori: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian terjadi di antara elite dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: 1) Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elite yang sudah ada, dan 2). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Munculnya istilah Elite Politik Bodongan ini berdasarkan pada apa yang terjadi di kampus kami tercinta. Elite politik yang seharusnya dapat memengaruhi perekembangan masyarakat kampus (mahasiswa) dengan kekuasaan yang dimiliki dalam hubungan yang sifatnya timbal balik atau saling menguntungkan satu sama lain. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa elite adalah produk dari masyarakat dan hubungan antar elite juga hubungan antara elite dengan masyarakat kampus (mahasiswa) senantiasa terjalin komunikasi yang baik sehingga kreasi maupun semangat, perjuangan dalam hal kebajikan serta Menggindarkan dari kesalah pahaman dan miss komunikasi yang sewaktu-waktu dapat terjadi dari suatu generasi dilanjutkan oleh generasi berikutnya juga seorang elite politik harus mutlak memiliki pemahaman yang sahih tentang etika politik, agar para elite tidak tinggal tahu cara berkuasa, tetapi juga paham akan cara memimpin. Selain itu, para elite politik ini harus teruji kemampuan membacanya, baik bacaan secara tekstual maupun kontekstual, integritas, serta potensi diri apakah sesuai atau tidak untuk memimpin.
Dalam pengertian yang umum elite politik menunjuk pada sekelompok orang
orang yang ada dalam masyarakat dan menempati kedudukan tinggi. Dalam
pengertian khusus dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang terkemuka di
bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan minoritas yang memegang kendali kekuasaan. Sedangkan bodong atau bodongan mempunyai makna tumpul, dalam hal ini tumpul yang dimaksud adalah lemahnya literasi yang dibangus sebagai landasan awal ataupun pondasi untuk berfikir dan bergerak hingga berdampak pada pengadvokasian yang semrawut.
Kampus juga dapat dikatakan sebagai miniatur negara oleh karena aktivitas masyarakat kampus (Mahasiswa) tidak jauh berbeda dengan masyarakat indonesia secara umum terlebih dalam ranah, sosial, politik dan budaya yang beragam. Dalam konteks politik, dunia kampus mempunyai budaya yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam per-politikan di Indonesia. Sebut saja dalam hal perebutan kekuasaan/Jabatan. Cerminan negara hampir takdapat dibedakan lagi dengan apa yang terjadi di kampus. Bagaimana tidak, kesepakatan-kesepakatan terselubung dari berbagai kelompok seringkali terjadi layaknya silaturrahmi politik yang dilakukan oleh petinggi partai di negeri ini dalam mencari koalisi. “Tak ada sahabat sejati dan tak ada kawan yang abadi”. Itulah kata yang sangat pas bagi kelompok politisi muda mahasiswa. Karena, apa yang terjadi hari ini belum tentu terjadi besok, demikian sebaliknya. Semuanya berbau kepentingan. Entah itu kepentingan kelompok atau pribadi. Dalam hal pemilihan untuk menjadi pemimpan masyarakat kampus (Presma) (DPM), (BEM) sampai dataran (HMJ/HMPS) pun selalu dipegang kendali oleh kelompok mayoritas. Lazimnya di miniatur negara ini yang berasal dari parpol besar yang disokong oleh partai-partai seperti ormek, orda, atau lembaga lainnya.
Kami banyak melihat dan membaca dari keadaan, kondisi kampus, baik dari kacamata politik, budaya, sosial dan pendidikan. Berbagai macam kecacatan yang ditunjukkan oleh Elite Politik Bodongan di depan mahasiswa seolah “telanjang bulat” di muka umum dengan memperlihatkan kepolosannya dalam berpolitik. Tidak terjalinnya komunikasi yang apik di kalangan para elite, lepasnya koordinasi adalah bentuk kecacatan yang tampak yang harusnya dapat terselesaikan sebelum telinga rakyat mendengar dan hidung rakyat dapat mengendus adanya pertikaian antar elite yang terjadi, kemudian rakyat berfikir, ada apa,? ini apa?. Apakah pertikaian ini terjadi oleh sebab pertikaian tentang perebutan kursi jabatan, kekuasaan atau sebagai mempertahankan kewibawaan dari salah seorang politikus kampus yang bodong?. Kerap kita dengar bahwa para elite berkata “Rakyat seharusnya belajar tentang pendidikan politik”. Tidakkah seharusnya yang lebih banyak belajar tentang pendidikan politik, etika politik adalah sorang politikus dalam dunia kampus khususnya, tidak sembarangan masuk dan mencantumkan namanya sebagai jajaran elite politik dengan menghalalkan segala cara agar namanya dapat tertera di struktur jajaran para elite yang hanya haus akan jabatan, ajang pergulatan eksistensi, pengamanan kekuasaan dan kewibawaan dengan tidak memikirkan masyarakat kampus (mahasiswa). Itulah yang kami sebut sebagai Elite Politik Bodongan yang tak faham tentang pendidikan politik, lebih-lebih etika politik menghalalkan yang haram dan megharamkan yang halal dalam permainan perpolitikannya, penuh intrik dan tipudaya, manipulasi layakya sebuah kebiasaan yang mengakar, kekuasan dijadikan layaknya warisan turunan yang tidak boleh diilangkan kulturnya, lebih mementingkan laparnya perut pribadi daripada perut rakyat, main sikat, main tendang yang terpenting bisa menang, bisa kenyang. Tak jarang banyak data-data dimanipulasi seperti Proposal untuk mempertebal katong pribadi dan sebagai salah satu bentuk pundi keuangannya. Fitnah dan jatuh menjatuhkan tim lawan kerap menjadi senjata andalan untuk menikam lawan dari belakang persis durna dalam cerita pewayangan yang punya lidah sejuta,dengan demikan absenlah persaingan yang sehat dalam sebuah kontestasi yang berlandaskan demokrasi di kampuk kita tercinta. Mencari pembenaran diri, menerobos, dan dengan mudahnya lepas dari jeratan hukum, namun tidak dengan hukuman moral meski tidak tampak namun akan tetap diingat dalam catatan merah sejarah.
Oleh kalangan para elite bodongan ini, mahasiswa yang lugu mereka sihir dengan dalil-dalil pragmatis dan dijadikannya sebagai budak kekuasaan, dengan menanamkan ambisi yang besar pada pola pikir mahasiswa yang lugu untuk berkuasa, hilang rasa welas asih dan tamak layaknya sosok Sangkala. Bukan lagi memimpin dan mensejahterakan, lalu-lalang kesana-kemari menggaet koalisi sambil lalu meracik formulasi untuk melancarkan aksi karena si elite politik bodongan tersebut tidak akan sukses untuk melancarkan aksinya apabila hanya seorang diri minimal ia harus punya team dalam hal tersebut. Selanjutnya mereka (mahsisiwa) lugu yang telah tergerus arus yang dibawa oleh para elite bodongan menjadi pendukung setia yang siap membela mati-matian dalih bentuk dukungan secara masif layaknya supporter bola, rakyat lugu kena getahnya buah mangga elite politik bodonganlah yang punya. Para elite politik bodongan ini sama sekali tidak memadukan akal dan nuraninya sebagai manusia dalam permainan politiknya, tidak pernah ada rasa tanggung jawab bagaimana memanusiakan manusia. Ketahuilah, meski manusia lainnya tidak dapat melihat tindak taduk secara jelas dan transparan, tetapi ada Dzat yang maha tahu dan maha bijaksana,Dzat yang tidak pernah tidur dan yang telah bersumpah demi massa dengan menerangkan atas apa yang telah manusia kerjakan kelak diujung abad pasti akan ada balasnya.
Suasana ini layaknya monarki demokratis meskipun kita tahu tidak ada demokrasi yang di monarkikan, monarki yang berarti berasas kekeluargaan namun kekeluargaan yang dimaksud disini bukan keluarga yang masih mempunyai ikatan darah tetapi ikatan kekeluargaan dari daerah asal, satu lembaga, ataupun satu organisasi yang tidak lain dan tidak bukan untuk mencegal lawan-lawan yang lain dalam sebuah kontestasi politik. Dalam pelaksanaannya masih terdapat peraktik semacam itu yang sering kita temui pada minatur negara ini yang kita sebut kampus. Titip-menitip nama, nepotizm, dan suap menyuap bukan barang langkah lagi di dalam sebuah miniatur negara ini yang membuat absennya etika perpolitakan pada ranah kontestasi politik yang berlandaskan pada sistem demokrasi.
Jangan lagi ada permainan politik yang tidak cerdas dari para pelaku politik, dengan salah satu contoh elite politik bodongan tadi. Perlukah diadakannya seminar tentang pendidikan politik dan etika politik, agar mereka paham betapa pentingnya hal tersebut. Perlukah telinga mereka dipukuli hingga berdarah tuli kemudian mereka menjadikan mata mereka untuk mendengar kemudian menyaksikan kedalam diri mereka sendiri kemudian menyadari kebobrokan diri mereka sendiri, dan untuk menyadarkan diri mereka sendiri bahwasanya ada rakyat yang harus mereka sejahterakan. Bagaimana rakyatnya bisa pandai, mengerti tentang pendidikan politik, jika para pemimpinnya hanya haus kuasa, jabatan, tahta serta gila hormat.
Peran Ratu adil sudah seharusnya di munculkan dalam sekenario ini, entah ia siapa, kita tunggu saja, yang pasti ia orang yang mau memperjuangkan kebenaran dan menolak keras pendidikan kebodohan yang diberikan oleh para elite kepada rakyatnya.
Komentar