Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2024

Juwita & Samudera

Hari itu langit cerah Mega awan bergaun merah Duduk Juwita menghadap samudera Termangu aku pada punggungnya Sendu melagu di khayalku; Betapa aku iri pada samudera biru itu yang dapat menatapmu tanpa kenal henti Betapa aku iri pada desir angin itu yang membelai-belai rambutmu tanpa permisi Betapa aku iri pada pasir-pasir yang beterbangan itu yang dapat berselancar di kelopak, bulu matamu Betapa aku iri pada langit sore itu yang dapat larut dan terbenam di bening bola matamu Betapa aku iri pada sapuan ombak itu yang dapat mengecup jari-jemari kakimu Dan di antara nyanyian camar-camar yang melankolia; Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang langkah kakinya seteduh dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam diamnya seanggun dirimu Aku bersaksi, bahwa tiada wanita yang dalam ucapnya sehalus sutera serupa ucapmu Aku bersaksi, bahwa tiada sorot mata yang mampu menundukkan pandangku serupa kedua matamu Padamu Juwita yang abadi sebagai tawanan rima Adakah kau menerka? Ku agungkan engkau d

Belajar Melukis

Gambar
Setiap malam Aku suka belajar melukis Jika melukis cinta dan kasih, kupinjam rahmat Tuhanku Jika melukis doa, kupinjam bibir ibuku Jika melukis tabah, kupinjam bahu adik-adikku Jika melukis berani, kupinjam kepal tangan bapakku Jika melukis peduli, kupinjam ulur jemari kawan-kawanku Jika melukis amarah, kupinjam wajah negara Jika melukis derita, kupinjam raut orang desa yanng ruang hidupnya di ambil paksa Jika melukis resah, kupinjam dada dan kepala orang kota Jika melukis kelaparan, kupinjam perut bayi-bayi di Biafra Jika melukis air mata, kupinjam pipi anak-anak palestina Jika melukis merdeka, kupinjam busur pace, mace di Papua Jika melukis kalah, tak pernah kupinjam itu pada siapa-siapa Semua ada padaku

Di Suatu Kota, Aku Terbakar Sendirian

Gambar
     Kau tahu, belakangan aku merasa muntab pada daur peristiwa yang ada di sekitarku. Rasa-rasanya tak henti rajam ranjau waktu yang di tanam dunia modern membuat huru-hara di dalam dada-kepalaku.  Ingin ku tuangkan segala hal yang melintas depan muka ku, namun gerak tanganku kaku, tak seperti mulutku yang gacor, lagi gemulai. Mataku meneropong segala lanskap peristiwa, sengaja kubuatkan untuknya kolom-kolom yang di kurung merah, kugaris bawahi dengan tebal, dan ku selipkan catatan-catatan kecil di sampingnya, namun tetap tanganku tak mampu membahasakannya dalam wajah susunan kalimat. Kepalaku mulai berdenyut-denyut, pada rumah sewa di salah satu sudut kota tempat ku menempuh pendidikan tinggi, dan di kamar persegi empat kali empat ini kuajak badanku untuk bangkit dari peristirahatannya. Ku amati, benda di sekelilingku mulai pendar dari pandang ku, seperti kulihat lampu-lampu menari-nari, meja-kursi beterbangan dan berputar, ubin lantai menusuk-nusuk telapak kaki ku dengan selimut es